Bab 18
Menjadi Diri Sendiri
“Aku masih banyak pertanyaan Pak,” ujar Taufan
“Tenang saja, aku mungkin masih bisa menjawab pertanyaanmu setengah jam ke depan hehe,” jawab Pak Cipto
“Ini sebenernya, masih nyambung dengan bahasan kita beberapa waktu lalu. Tentang tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat atau opini orang lain. Aku ingin penjelasan yang lebih mendalam tentang hal ini,” pasalnya, aku terkadang merasa bukan menjadi sosok aku yang berdiri di depan Bapak sekarang”
“Maksudnya, kamu ingin menjadi orang lain, begitu “ Tanya Pa Cipto
“Ya kurang lebih begitu. Tambahan lagi, diri kita pribadi terkadang didefinisikan oleh orang lain. Jadi, aku merasa tak sepenuhnya menjadi diriku sendiri.
“Hmmm, menarik” Pak Cipto menuangkan kopinya yang tersisa sedikit ke gelasnya, “Waduh, tinggal ampasnya !” kata Pak Cipto.
“Baiklah kita telisik. Aku mulai dari pernyataan seseorang,
“You must be prepared to work always without applause” –Kamu harus bersiap untuk bekerja, terus bekerja, bahkan tanpa tepuk tangan" kata Ernest Hemingway
“Begini, Fan ... salah satu “penyakit” manusia adalah keinginan untuk diapresiasi orang lain, diperhatikan, dikomentari yang baik, dan lain sebagainya. Seakan hidup kita bergantung sepenuhnya dari persetujuan orang lain. Padahal, seperti disinggung sebelumnya, pujian, perhatian dan komentar orang berada di luar orbit kita alias berada di luar kendali kita.”
“Dengan kata lain, lingkungan seringkali menuntut kita menjadi seseorang yang bukan diri kita seutuhnya. Tentu saja, kita belajar dari orang lain, melihat mereka, mencontoh dan meniru mereka, tapi aku dan kamu Fan, adalah pribadi yang unik, jadi tidak perlu menjadi orang lain. Kamu bukanlah si fulan atau si Badu, si Sri atau Wati, tapi kamu sendiri, dengan segala kualitasnya.”
“Aku menemukan nasihat bagus yang ditulis Matt Haig,
“Menyesuaikan diri sih boleh-boleh saja. Namun, jangan pernah mencoba dan menyesuaikan diri bila penyesuaian itu berarti menjadi bukan diri kita. Jadilah diri kita sendiri, bukan orang lain. Jika orang-orang tidak menyukai kita, biarkan saja mereka tidak menyukai kita. Tidak semua buah harus jadi apel. Akan terlalu melelahkan untuk menjalani hidup ini sebagai orang lain. Kalau kita buah delima, jadilah buah delima …”[1]
“Jadi, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Apakah kebahagiaan kita didefinisikan oleh orang lain, lingkungan, atau hal-hal yang sifatnya eksternal ? Apakah kebahagiaan seperti dikatakan Scopenhauer hanyalah jeda saja dari alunan penderitaan ? Begitu sulitnya sehingga ibarat mencari patahan jarum di dalam tumpukkan jerami ? Tidak. Bahkan kita bisa mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal kecil. Tapi, darimana kita memulainya ? Syahdan, 2400 tahun lalu ada seseorang yang menjawabnya.”
Orang yang bahagia
“Apakah yang membuat anda merasa bahagia?”
"Menemukan kebijaksanaan".
“Bilakah aku memeroleh kebijaksanaan itu ?
"Jika pujian orang terhadapmu tak membuatmu gembira dan cacian orang terhadapmu tak membuatmu bersedih hati".
“Bagaimana aku akan bisa menemukannya?”
"Jika kamu punya empat telinga. Dua telingamu untuk mendengarkan kebijaksanaan dan dua telingamu menyimpan celoteh tak jelas (kacau) orang-orang bodoh/dungu (al-juhhal).".
“Sang bijak bestari yang ditanya itu adalah Socrates, guru Platon.[2]
“Dari sini kita dapat menyimpulkan. Makna kebahagiaan adalah sepenuhnya berada dalam kendali kita, dalam respon kita terhadap sesuatu. Apakah kita terganggu oleh kicauan orang lain, gundah gulana memikirkannya, risau oleh komentarnya, atau tetap tenang, menyerap kebijaksanaan dari manapun ia datang, dan tidak goyah oleh faktor-faktor di luar kendali kita.
“Aku pernah berkata Fan, memang ini tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar, aku dan mudah-mudahan kamu berada dalam fase belajar menghadapi kenyataan hidup ini. Kenyataan bahwa kita tidak mungkin disukai oleh semua orang.”
“Selalu riang gembira, dan pertahankan kemandirianmu dari mencari bantuan pihak luar maupun kedamaian yang dapat diberikan orang lain. Tugasmu adalah berdiri tegak dengan kemampuan sendiri, bukan ditegakkan oleh orang lain" kata Kaisar Marcus Aurelius[3]
“Senada dengan sang Kaisar Marcus, Fisikawan terkenal abad ke-20, Albert Einstein pernah mengatakan hal yang serupa. Menurutnya,
“If you want to live a happy life, tie it to a goal, not to people or things.”
“Jadi, jangan sekali-kali menggantungkan kebahagiaan pada seseorang atau sebuah barang. Jangan deh ! Atau siap-siap bakalan kecewa. Sudah banyak kejadian, dan bukan sekali dua kali”
“Aku punya, maksudku, aku pernah baca sebuah syair yang “tak lekang ditelan zaman.” Sebuah syair yang layak Taufan tulis dan tempelkan di tembok kamar tidur, ruang belajar atau ruang kerja Taufan. Sebuah syair yang berjudul “IF” karya Rudyard Kipling. Aku akan bacakan ya Fan, nanti aku terjemahkan juga.”
“Sebentar Pak, aku ingin tulis” ungkap Taufan buru-buru mengambil kertas.
“Silakan, tapi mending bahasa Indonesianya saja yang kamu tulis” ujar Pa Cipto
IF
by Rudyard Kipling
If you can keep your head when all about you
Are losing theirs and blaming it on you,
If you can trust yourself when all men doubt you,