KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #22

Bab 20 Sudahkah Kamu Bersyukur

Bab 20

Sudahkah Kamu Bersyukur ?

 

“Setelah aku ceritakan konsep-konsep filsafat Stoik, di atas segalanya adalah kita harus bisa mengembangkan sikap syukur Fan,” ucap Pak Cipto

“Aku tahu, di tengah kesulitanmu, agaknya kamu memendam amarah akan situasi dan kondisi yang kamu hadapi, tapi rasa syukur akan menggaris bawahi hidupmu menjadi penuh makna !” tambah Pak Cipto

“Maksud Bapak ? Tentu saja aku mengeluhkan banyak hal. Kenapa aku tidak seperti mereka, kenapa aku tidak bla-bla-bla,” kata Taufan

“Tapi, ya sudahlah, seperti konsep “amor fati” yang sudah Bapak kenalkan, maka aku berusaha menerima saja apa nasibku hingga detik ini.”

“Yang akan aku jelaskan mengenai pilihan kita untuk tetap bersyukur dalam kondisi apapun” Ucap Pak Cipto

“Sikap syukur, atau bersyukur adalah pilihan kita. Di tengah kepahitan, kenahasan, yang kita alami, bersyukur adalah mengakui bahwa kita diberikan kesempatan untuk berterima kasih atas hal-hal yang seringkali luput dari perhatian kita. Kecenderungan kita adalah selalu merasa “kurang” dalam hal apapun. Selain merasa kurang, kita pun adalah makhluk yang gampang mengeluh, betul ?”

Agree !” jawab Taufan.

“Wah, english,” Pak Cipto tersenyum renyah.

“Coba Fan, sesekali jika sengaja menghitung dari sejak bangun tidur hingga beranjak tidur kembali, tak terhingga keluhan demi keluhan yang tercetus dalam benak kita. Sebaliknya, rasa syukur ibarat permata langka yang sulit kita temukan dalam keseharian.”

“Masalahnya, telah terjadi pergeseran nilai di dunia yang bergerak sangat cepat dan serba hedonistik ini. Rasa syukur dikonotasikan sebagai sikap yang cepat puas, nrimo atau pasrah. Sementara “keluhan” adalah kebalikannya. Sikap yang tidak cepat puas, tidak pernah merasa cukup dan mendambakan pencapaian yang lebih tinggi lagi.”

“Dengan perubahan “mindset” seperti ini, maka manusia menjelma menjadi individu yang egoistis, selalu mengejar kenikmatan dan menjadikan sarana-sarana duniawi sebagai katarsis bagi jiwanya. Sayangnya, upaya pencapaian yang tak henti-hentinya ini membuat keluhan menjadi makanan sehari-hari.”

Lihat selengkapnya