KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #24

Bab 22 Menyikapi Penderitaan, Menyalahkan Tuhan ?

Bab 22

Menyikapi Penderitaan, Menyalahkan Tuhan ?

 

“Fan, kali ini aku akan bicara soal salah menyalahkan” ujar Pak Cipto

“Maksudnya gimana Pak, aku ngga ngerti ?” tanya Taufan

“Ya, terkadang ketika kita kecewa, menderita, sakit hati, atau apapun yang ngga enak selalu menyalahkan pihak luar sebagai biang keroknya”

“Tapi,Pak, mungkin memang ada pihak luar atau eksternal yang menyebabkan kita ada di kondisi-kondisi itu kan ?”

“Betul, tapi sebenarnya, kebanyakan masalah adalah berasal dari kita sendiri Fan,” sanggah Pak Cipto

“Ada yang lebih ekstrem ?”

“Eskirm...eh, Ekstrim bagaimana Pak ?”

“Ekstrim karena menyalahkan Tuhan yang ikut andil dalam penderitaan kita”

“Aku akan bahas lagi tokoh yang kemarin kita bahas, Viktor E.Frankl”

“Ia menulis begini Fan.....”

“.....beberapa ratus atau seribu meter jauhnya dari tempat saya, tetapi sama sekali tidak terjangkau. Orang itu adalah istri saya” (Viktor E.Frankl)

“Membaca kutipan dari buku “Man’s Search for Meaning” ini membuat mataku meremang. Bisa dibayangkan, jarak fisik hanya terpisahkan dalam kisaran ratusan atau paling tidak hanya seribuan meter, namun orang yang kita cintai, kasihi sama sekali tidak terjangkau. Inilah Long Distance Relationship (LDR) dalam artian sebenarnya. “

“Lalu, apa bedanya dengan kematian ? Viktor –penulis buku ini- memang tidak mengetahui bagaimana nasib istrinya pada saat mengatakan hal itu. Meski kita sama-sama tahu, pada akhirnya Viktor harus merelakan istrinya yang sedang mengandung bersama kedua orang tuanya. Keempatnya (jika dihitung dengan bayi di perut istrinya), bersama jutaan warga Yahudi lain harus meregang nyawa di kamp konsentrasi Nazi. Sebuah tempat yang dirancang sebagai solusi final bagi warga Yahudi.”

“Nazi gagal, namun korban yang ditimbulkannya tidaklah sedikit. Kita bisa berdebat tentang jumlah pasti warga Yahudi yang terbunuh oleh rezim Third Reich ini, tetapi tidak bisa menyangkal bahwa kekejaman Nazi bukanlah isapan jempol. Tapi bukan hal itu yang ingin aku bahas, Fan.”

“Yang ingin aku bahas adalah penyikapan kita terhadap penderitaan. Penderitaan adalah kenyataan hidup. Siapa yang bisa menyangkalnya ? Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan ketika kita menderita ? Viktor E.Frankl, tokoh yang kita bicarakan di awal tulisan ini mengatakan, bahwa “jika hidup secara keseluruhan memiliki makna atau arti, maka harus ada arti atau makna dalam penderitaan.”

“Bagi sebagian dari kita, penderitaan adalah sebuah musibah yang patut dihindari. Tidak ada seorang pun yang memimpikan penderitaan dalam hidupnya. Tapi, penderitaan tidak pernah meminta izin kita untuk datang. Dengan demikian, penderitaan adalah kenyataan hidup. Sia-sia jika kita menyangkal atau menolak penderitaan.”

“Tuhan menjadi salah satu, atau bahkan satu-satunya pihak yang seringkali disalahkan dalam hal ini. Kecuali mungkin pihak-pihak yang sedari awal sudah menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah ada dan terlibat dalam penciptaan alam semesta. Sedih atau senang, bahagia atau menderita tidak tergantung pada Tuhan. Tapi bagi orang-orang yang berafiliasi dengan agama-agama yang ada di dunia ini, terbersit pertanyaan dan gugatan, mengapa Tuhan membiarkan penderitaan menimpa dirinya ? Mengapa Tuhan diam saja. Pertanyaan retorik "Di mana Tuhan?" acap menggema di Auschwitz, kamp konsentrasi Nazi di mana dipercaya sekitar 1,1 juta warga Yahudi tewas di kamar gas, atau lewat kerja paksa.”

“Mana mungkin Tuhan yang Maha Kasih dan Penyayang membiarkan umatnya dibantai dengan keji dan Dia diam saja ?”

Taufan tampak termenung ketika Pa Cipto dengan berapi-api mengatakan hal itu. T-U-H-A-N. Memori Taufan seakan diajak lagi ke masa kecilnya, ketika ia harus kehilangan orang tuanya, warga kampungnya di Rawagede.

Pak Cipto melanjutkan ceritanya. “Diam atau tidaknya Tuhan sesungguhnya di luar kuasa kita, karena kita tidak pernah tahu kehendak Tuhan. Alih-alih mengambil pendekatan dengan menyalahkan Tuhan, sesuatu yang di luar kendali kita, aku sendiri mencoba pendekatan lain. Pendekatan filsafat kaum Stoik. Fokus pada apa yang bisa dikendalikan.”

“Aku tidak bermaksud menyederhanakan, tetapi menurut kaum Stoik dalam menyikapi kehidupan ini semestinya kita bisa membedakan “apa saja yang di dalam kendali kita” dengan “apa-apa yang di luar kendali kita. Inilah dikotomi kendali. Sebagaimana pernah diucapkan oleh seorang filsuf yang hidup di abad ke 1-2 Masehi, Epictetus dalam buku Enchiridion, "Some things are up to us, some things are not up to us." Di mana terjemahan bebasnya, "Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita."

“Lalu pertanyaannya, apa sih yang bisa benar-benar kita kendalikan dalam hidup ini ? kira-kira ada empat hal yang bisa kita kendalikan, yakni:

1. Persepsi kita, apa yang kita pikirkan ada dalam kendali kita

2. Emosi kita, apa yang kita rasakan ada dalam kendali kita

Lihat selengkapnya