Bab 24
1965
Sudah terlalu lama aku tak menulis jurnal harian. Padahal, dulu Pak Cipto mengingatkanku untuk selalu menulis, tak peduli satu atau dua halaman saja. Tapi, duh, aku seperti berkejaran dengan waktu.
Kini, selama dua tahun berselang aku sudah bekerja sebagai jurnalis di Harian Rakjat.[1] Bagaimana aku bisa sampai di sini? Partai ternyata tak melupakanku. Setelah Pak Anwar tiada, aku kira aku akan terseok-seok di stasiun dan terminal, tapi aku lebih beruntung dibanding sekawanku Goenawan. Aku disekolahkan lebih tinggi, dan kini, aku bisa bekerja di surat kabar partai.
Dan memang langit mendung tidak selalu menaungi hidupku. Seminggu ke depan aku akan menikahi Eva. Ya, betul. Dia adalah Eva Jannatun Nisa, dengan huruf “N” nya dua ! Aku tak punya mahar lebih, tapi Eva membuatkan satu syarat untukku. Ia memintaku menulis sebuah artikel. Artikel tentang cinta. Maka di jurnal ini aku akan coba menuliskannya terlebih dahulu, sebelum mempersembahkan kepadanya.
“Eva, kamu bertanya kepadaku tentang cinta. Baik, aku akan mencoba menjawabnya. Dan apabila sudah bagus, dan tidak perlu dicoret di sana-sini, akan kupersembahkan padamu sebagai salah satu syarat mempersuntingmu.
Adalah Cinta Untuk Dipersembahkan
“Tidak ada orang yang melemparkan batu ke pohon yang tak berbuah” (Syaikh Sa’di Shirazi)
Beribu alasan yang melatarbelakangi orang berkata “Cinta,” juga tak terselami ketika orang mengatasnamakan cinta bagi setiap tindakannya. Namun alasan-alasan tersebut berujung pada satu kata yang mempersatukan. Sebuah kata sakti yang selalu terucap dan terngiang semenjak “Sang Maha Cinta” memfirmankannya, memahatnya pada alam semesta raya ini.
“Bahasa tidaklah stabil” ujar Deridda, seorang filsuf kontemporer asal Prancis. Maka wajarlah apabila sangat sulit untuk mendefinisikan arti kata “Cinta” apalagi melekatkannya pada setiap tindakan.
Cinta adalah komoditi, cinta ada di setiap lirik lagu, judul-judul novel, tema-tema film, yang pada pokoknya cinta adalah produk yang menjual. Dengan demikian cinta adalah juga produk kapitalis. Cinta juga sering disamarkan atau kata lain dari seks. Atas nama cinta juga orang rela melakukan bunuh diri, kamikaze, atau melilitkan tubuhnya dengan bom. Cinta adalah cantik, ganteng, cinta juga berarti sayang, cinta adalah buta, cinta juga dilekatkan pada nama Tuhan. Semuanya atas nama cinta, tetapi mungkin bukan cinta itu sendiri.