Bab 25
1969
Aku menemukan catatan Kang Taufan di sebuah emperan pedagang buku-buku lama di Cikapundung. Tentu bukan kebetulan, aku yang pernah memiliki rasa dan menjadi bagian dari hidupnya, akhirnya menemukan dan membaca separuh kisah hidupnya di catatan ini.
Ya, aku, Maryam. Pada waktu itu, aku tak bermaksud menghilang dari kehidupan Kang Taufan. Kondisilah yang tidak memungkinkan kami untuk bersatu. Terlalu banyak rintangan dan hambatan yang akan menghalangi jalan kita bersama. Pastinya, Kang Taufan kecewa dengan diriku. Tapi biarlah, Tuhan yang menjadi saksiku. Biarlah kekecewaan itu cukup sekali. Aku tak ingin menjadi rentetan kekecewaan seumur hidupnya. Aku mengalah, dan menghilang, tapi bukan berarti aku tak mencari-cari kabar tentangnya.
Setelah peristiwa September, kudengar ia dan istrinya berpindah-pindah. Dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Sampai aku kehilangan kabarnya. Yang agak lebih jelas adalah kabar sahabatnya, Goenawan. Aku berpapasan dengannya di stasiun ketika ia sedang menyemir sepatu pelanggannya. Ia melihatku dan tersenyum. Tapi, tak berapa lama kemudian ia diseret masuk ke sebuah truck oleh beberapa orang. Bahkan, ia tak sempat menyelamatkan kotak kayu tua dan semirnya yang tergeletak begitu saja, ditinggalkan pemiliknya. Semenjak itu, tak ada yang tahu kabar Goenawan.
Kembali lagi ke buku harian Kang Taufan. Dari mana aku tahu, bahwa ini adalah buku hariannya ? Di dalam buku harian Kang Taufan, ada secarik surat cinta, dan sebuah foto. Foto diriku. Surat cinta ini tidak pernah ia kirim untukku. Tak kusangka, setelah sekian tahun, surat itu masih ia simpan di dalam hartanya yang paling berharga. Begini isi suratnya,
Kutulis secarik surat untukmu ....
Bandung, 25 Februari 1958
Assalamu'alaikum Maryam ....
Maaf mengganggu studimu ....
Mar ... akhirnya kita sampai di akhir perjalanan. Tanggal 25 Februari ini adalah tanggal terakhir kita bersama. Aku harus membiarkanmu tuk menempuh jalan yang telah kamu pilih. Dan aku pun menempuh jalan lain. Kita berseberangan sekarang. Di jalan yang kamu pilih telah ada seseorang yang Insha Allah menemani sisa hidup kamu. Begitu juga aku. Mungkin suatu saat nanti ada seseorang yang menunggu, dan menemani sisa hidupku.
Aku sebenarnya engga percaya hal ini terjadi. Selama dua tahun kita bersama (walaupun aku mengenalmu tiga tahun lalu ) aku seakan-akan telah mengenal Maryam lama. Waktu yang sama-sama kita jalani sungguh singkat, tetapi singkat atau lamanya waktu tidaklah menjadi sebuah tolok ukur. Aku merasakan cinta dan kasih sayang Maryam membuatku merasakan “hidup” kembali. Dan semoga Maryam juga merasakan hal yang sama.
Ada perasaan marah, kecewa, sia-sia, tetapi ujung-ujungnya pasrah. Ada juga perasaan menyalahkan Maryam, namun, setelah dipikir jernih, memang kita berdua tidak mempunyai pilihan lain. Vonis telah dijatuhkan, dan kita tidak bisa lagi berbuat apa-apa selain terpaksa menerima takdir yang telah dipilihkan.
Tapi jernih atau keruh, rasional atau irrasional adalah sesuatu yang datang dan pergi dalam benak ini. Entahlah ... setelah tanggal 28 nanti, Aku engga tau harus bagaimana menghadapi Maryam. Jujur, aku tetap engga bisa ikhlas atau ridho dengan semua ini. Terlalu sakit ... Minggu-minggu ini terasa sungguh menyesakkan. Kenangan bersama Maryam serasa diputar ulang dalam benakku setiap saat. Satu-satunya do’a yang terus aku panjatkan adalah meminta penjelasan. Ya, penjelasan kepada Tuhan. Aku sampai detik ini tidak mengerti dengan maksud Tuhan mempertemukan kita ....
Jika harus memilih antara menumbuhkan sekuntum bunga, dan kemudian setelah bunga tersebut tumbuh sehat terus kita harus mencabut atau membunuhnya, mendingan kita tidak pernah menumbuhkan sesuatu apapun. Kita tidak saling menyakiti dan tidak akan ada yang tersakiti. Tapi apakah kita tahu kapan cinta itu akan datang ? Dan akan hinggap kepada siapa ? Kebetulan kita yang dihinggapi dan digilai oleh Cinta.
Maaf, aku tidak mau berpanjang lebar lagi. Dua atau paling lama 6 bulan dari sini aku yakin Maryam sudah mulai lupa. Lupa kita pernah saling bercanda, lupa kita pernah saling cemburu, lupa kita pernah menangis, lupa kita pernah berpakansi ... dan bercinta ... lupa semuanya ... karena aku sudah bukan seseorang lagi ... bukan seseorang yang penting. “Maaf, lintasan orbit kita berbeda” kata Laila kepada Majnun.
Terakhir, sebagai penutup ... ada kata-kata Majnun kepada Laila yang mewakili perasaanku saat ini :
“Orang-orang menggali dan mencari harta, hanya untuk mendapati bahwa bumi tidak akan menyerahkannya; bukankah selalu begitu kejadiannya sejak dahulu ? Lihatlah pada sebuah kebun ! Sementara burung bul-bul mengicaukan puii-pujinya pada pohon ara, sang jurang malah mencuri buahnya ! Tukang Kebun merawat pohon delima dengan darah di jantungnya, hanya untuk melihat buahnya dibawa pergi untuk diberikan kepada beberapa orang tolol. Seperti itulah jalannya takdir.”
Salam terakhir,
Seseorang yang sekedar lewat dalam hidupmu,
Taufan
Yang menarik, tentu saja, selain catatan harian Taufan, dan surat cintanya untukku. Aku menemukan kliping tulisan-tulisannya, di surat kabar dan majalah. Sungguh berbakat, Ia memang cocok menjadi jurnalis dengan wawasannya yang luas. Inilah beberapa tulisannya, yang aku akan lampirkan dalam catatan harianku, siapa tahu anak cucuku membacanya.
Beberapa tulisan fiksi ini sepertinya terinspirasi dari kisah hidup Kang Taufan sendiri.
Amor Fati !
“Jaga adik-adikmu ya, ibumu juga, bapak pergi, harap dimengerti ini untuk kebaikan kita semua,” itulah pesan terakhir bapak, sebelum ia menghilang entah ke mana. Meninggalkan ibu dan kedua adik perempuanku. Praktis semenjak itu, aku menjadi sosok bapak bagi mereka semua.
Ketika bapak pergi, aku tak mengerti. Bayangkan, aku 14 tahun. Adikku, Mirna baru 10 tahun, dan si bungsu Yeni 6 tahun. Beberapa hari kemudian, wali kelas memanggilku. “Dar, besok suruh orangtuamu ke sekolah ya, Ibu sama Bapak kepala sekolah mau ketemu.”Aku menangguk saja, tak berkata sepatah kata pun. Teman-teman jadi berubah belakangan ini. Mereka seperti menjauhiku. Aku masih tak mengerti.
Bel sekolah berdentang, anak-anak berhamburan keluar. Entah dari jurusan mana, tiba-tiba terdengar kata-kata, “Tuh si Darsono, anak PKI !” Aku tak mengenal suara itu. Setahuku, tak ada dua Darsono di sekolah. Tentu, perkataan itu ditujukan kepadaku. Tiba-tiba dadaku sesak dan panas, “Ya, terus memangnya kenapa ?” Aku berteriak. Anak-anak lain melihatku nanar. Tapi mereka tak berani menggangguku lebih jauh, aku termasuk anak bengal di sekolah.
Ibu datang ke sekolah. Sebelum masuk ke ruangan kepala sekolah Ibu berkata, “apalagi sekarang Dar? Kamu benar kan tidak bikin ulah lagi “ tanyanya. “Ngga Bu.” Aku kemudian teringat peristiwa 6 bulan lalu. Bapakku dipanggil kepala sekolah karena aku menonjok kakak kelas persis di hidungnya. Darah mengucur deras dan mengotori seragamku. Aku membela diri, anak yang kujotos adalah preman sekolah yang kerjanya memalak anak-anak yang tubuhnya kecil dan terlihat lemah.
Tapi kali ini lain, aku tak tahu kenapa Ibu dipanggil. Aku menunggu di luar ruangan. Kulihat ibu sedang berbincang dengan kepala sekolah dan wali kelasku. Wajahnya tegang, aku bahkan bisa melihat urat lehernya meski dari jauh. Tak berapa lama kemudian, Ibu keluar dengan wajah sayu, “mari pulang, Nak,” aku berontak, “tapi bu, aku harus masuk kelas lagi, masih ada pelajaran, belum waktunya pulang”
“Pulang, Nak ! Tolong jangan bantah Ibu, Ibu lelah, Nak !” aku pun tak lagi membantah. Aku melihat ke belakang, itulah terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di sekolah.
Sepeninggal bapak, semuanya berubah 180 derajat. Sebelum bapak pergi, Ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Tak punya pengalaman kerja. Hidup kami cukup-cukup saja, tak kekurangan, tapi juga tak berlebihan. Kini, tanpa bapak, ibu berusaha keras menghidupi kami, tapi tetap tak cukup. Untung ada beberapa sejawat yang iba. Ibu menerima pesanan cucian dari mereka, tentu dengan bayaran seadanya.
Aku sebagai anak lelaki satu-satunya harus putar otak. Cita-cita sekolah kubuang jauh-jauh. Begitu pula dengan Mirna adikku, Ia harus merelakan bangku sekolahnya. Tinggal si bungsu, Ibu keukeuh berupaya agar Yeni tetap sekolah, bagaimanapun caranya. Ia tak mau semua anaknya putus harapan, paling tidak bagi Yeni.
Walhasil, apapun kulakukan demi membantu ekonomi keluarga. Cuci piring, semir sepatu, loper koran hingga kuli panggul adalah beberapa ikhtiar yang harus kujalani agar bisa menyambung hidup. Dan sepertinya Tuhan tidak kapok menghukum kami. Semua kesialan itu belum ditambah cemoohan yang semakin santer terdengar. Hingga suatu saat, Yeni pulang dari sekolahnya dengan mata yang bengkak dan tangisannya yang meraung-raung. “Bu, aku diejek anak PKI !” memangnya siapa Bu, PKI itu ?” tanya Yeni polos. Ibu hanya terdiam sembari mengusap wajah Yeni.”Sudahlah Nduk, mereka cuma anak-anak nakal.”
Di sela pekerjaan mengantarkan koran, aku sedikit membaca-baca tajuknya. Di koran pertama yang kubaca, di halaman pertamanya tertulis dengan huruf yang besar-besar, “PKI Memberontak untuk Kedua Kalinya !” Di tajuk koran lainnya ditulis, “Pengkhianatan Daripada PKI !” Dalam hati aku berkata, mungkin inilah yang menyebabkan bapak pergi. Seingatku, sebelum September 1965, kehidupan keluarga kami biasa-biasa saja. Tapi saat ini, tepatnya Januari 1966, semuanya berubah total. Jangan tanya kerabat dari sisi bapak dan ibu, seperti juga teman dan tetangga yang lain, mereka menghilang satu persatu. Mungkin mereka takut dituduh bersekongkol dengan kami. Atau juga mungkin -di mata mereka- kami seperti seonggok sampah yang sepantasnya dibuang.
Aku tak bisa lagi menangis. Aku seorang lelaki, tak mau menangis di depan Ibu, Mirna dan Yeni, tiga perempuan penting dalam hidupku. Lantas, aku menyepi ke ruang kerja bapak. Ruangan yang hampir sebagian besarnya dihiasi oleh ribuan judul buku. Itulah peninggalan terakhirnya. Ada foto bapak dengan Bung Karno, ada juga foto bapak dengan Kawan Aidit. Ibu tak lagi berkunjung ke kamar ini, tapi setiap malam aku mengendap-ngendap berkunjung ke sini, sekedar memungut serpihan-serpihan memori bersamanya. Di atas meja bapak, ada lampu meja tua dan sebuah buku dalam posisi terbuka, sepertinya belum tamat ia baca.
Seperti biasa, buku-buku bapak penuh dengan coretan dan garis-garis. Jika bapak menemukan sesuatu yang menarik, maka ia mengambil bolpoin dan penggaris. Ia gariskan bolpoinnya pada kata-kata itu. Kubalik buku, itu, di sampulnya tertulis “Enchiridion, The Works of Epictetus.”
Buku tersebut berbahasa Inggris, yang sedikit saja kupahami, untungnya bapak selalu memberikan coretan terjemahannya di samping kata-kata aslinya. Aku membolak-balik buku, tiba-tiba buku terjatuh. Aku memungutnya ketika nampak padaku kata-kata dengan huruf kapital, “SOME THINGS ARE UP TO US, SOME THINGS ARE NOT UP TO US.”. Tentu kata-kata ini tidak perlu diterjemahkan, aku tahu artinya, tapi aku tak paham. Apa sesuatu yang terserah kita, dan ada sesuatu yang tidak terserah kita ? Apa maksudnya, aku tak sepenuhnya mengerti.
Lebih lanjut di buku tersebut diterangkan, bahwa apa yang terserah kita adalah opini kita, tujuan kita, serta tindakan kita sendiri. Sebaliknya, apa yang tidak terserah kita adalah opini orang lain, tindakan orang lain, reputasi, kekayaan, kesehatan, cuaca dan lain sebagainya. Sebuah pernyataan menohok kemudian terdapat di paragraf berikutnya. Disebutkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari “things we can control” atau apa-apa yang bisa kita kendalikan. Selebihnya, penilaian orang lain, tindakan orang lain adalah di luar kontrol kita. Sia-sia saja jika kita berupaya mengendalikan mereka.
Tapi, ada sebuah coretan tulisan yang paling mengena kepadaku. Tulisan tangan bapak dengan tinta berwarna merah. Kata-kata itu sendiri tidak ada di dalam buku tersebut. Tulisan kata-kata tersebut adalah, ‘AMOR FATI’ di sebelahnya ada coretan berbentuk panah yang menunjukkan artinya. Amor (Love) dan Fati (Fate). Arti harfiahnya adalah "cinta terhadap takdir". Bapak kemudian menulis lebih lanjut, “kita tidak harus menanggung apa yang tidak dapat kita dirubah, bahkan kita harus mencintainya.”
Kata-kata ini menggema dalam sanubari. Melihat keadaan keluarga kami, keadaan diriku pribadi, ibu, adik-adikku, sungguh sesuatu yang sangat layak untuk dikasihani. Menunggu seseorang atau berharap bapak kembali adalah harapan paling utama. Mencoba mengingat masa yang telah lalu, selalu ingin balik ke sana. Tapi hidup harus dijalani terus, melangkah ke depan, pantang surut ke belakang. Demikian kata ibuku.
Di sinilah kemudian petatah-petitih buku yang ada di meja bapak menjadi begitu relevan dengan kondisiku. Kata-kata di dalamnya menjadi perisai yang menghalau serbuan panah-panah masalah yang menghadang. Aku coba petakan masalahku dalam dua kategori seperti disarankan buku tersebut.
Apa yang di luar kendaliku ? Tentu saja perlakuan orang lain, hinaan teman-teman sekolah, cacian dari para tetangga bukan di bawah kendaliku. Aku tidak dapat mengontrol itu semua, bahkan satu orang pun tidak ! Lantas, mengapa juga aku harus khawatir atau tersakiti oleh komentar-komentar mereka. Jika kita merasa sakit, terluka atau terhina karena kita mengizinkankan kata-kata tersebut melukai diri kita.
Kata-kata ejekan seperti, “kamu komunis, najis, kafir tak ber-Tuhan, atheis !” Apakah kata-kata itu dapat membuat sedih dan melukaiku ? Aku tidak mungkin mengendalikan bibir dan lidah mereka. Tetapi aku dapat mengendalikan pikiran serta reaksiku terhadap caci maki tersebut. Inilah sesungguhnya yang benar-benar di bawah kendaliku !
Kenalan, teman, kerabat, semua orang yang sebelum peristiwa September 1965 sangat akrab dengan keluarga kami satu persatu menghilang. Atau mungkin memang mereka sengaja menjauh. Tetapi berdasarkan buku yang aku baca, persahabatan melibatkan orang lain, sehingga sudah jelas hal ini di luar kendali kita, betapapun segala upaya untuk mempertahankannya.
Dan tentu permasalahan paling besar bagi kami adalah kehilangan bapak itu sendiri. Apakah bapak melarikan diri dari tanggung jawab sebagai kepala keluarga atau justru sebaliknya, bapak justru ingin istri dan anak-anaknya tidak terlibat dengan masalah yang tengah membelitnya ? Di manakah bapak ? Sebuah pertanyaan yang menyisakan lubang dalam hati ini. Apalagi kalau pertanyaan tersebut dilayangkan si bungsu, Yeni.
Apakah bapak masih hidup atau wafat, semuanya menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Tapi, semuanya itu benar-benar di luar kendali, persis seperti cuaca, kita tidak dapat mengeluh karena hujan atau karena terik mentari ! Terima saja ! Selebihnya yang dapat kita kontrol hanya pikiran dan perasaan, itu saja yang kita punya.
Di bulan berikutnya, Februari 1966 tekanan mahaberat semakin menghimpit keluarga kami. Suatu malam, sebuah truk berhenti tepat di depan rumah. Dari dalamnya keluar belasan serdadu, entah dari kesatuan mana. Aku mengintip lewat jendela ketika serdadu-serdadu tersebut bergegas menuju rumahku. “Tok, tok, tok, buka, cepat buka ! Kulihat Ibu masih di ruang depan. Karena ribut-ribut itu, Mirna dan Yeni terbangun, dan memeluk ibu. “Buka cepat, atau kami dobrak !” terdengar suara dari luar semakin keras. Ibu segera membuka. Mereka masuk tanpa ba-bi-bu. “Nyonya, ini rumah Bapak Sudisman ?” Betul Pak, ada apa ?” jawab Ibuku. “Ah, sudahlah, Ibu diam saja di luar, bawa anak-anak ibu, kami punya tugas menggeledah rumah ini, Pak Sudisman kan PKI !” ujar seorang serdadu, mungkin dia komandannya. Ibu menurut saja, “Dar, Dar, keluar, cepat ke halaman !”
Aku bergegas keluar menyusul Ibu ke halaman. Di luar sudah berkumpul para tetangga, mungkin mereka juga terbangun karena suara-suara ribut. Setelah mengacak-acak seisi rumah, selanjutnya giliran buku-buku. Tebal, tipis dan kliping koran yang dikumpulkan bapak bertahun-tahun di lempar keluar, tandas tak tersisa. Tiba-tiba saja tak terasa menetes air mataku. Aku merasa, itulah satu-satunya harta berharga yang tersisa. Puas dengan tidak menemukan apapun, para serdadu keluar. Sang komandan menyuruh anak buahnya menyiramkan bensin dan membakar tumpukan buku yang menggunduk di halaman. Api dan asap membumbung lumayan tinggi, begitu pula bau asap menyeruak sengit ke indra penciuman.
Sang Komandan dan serdadu lainnya kemudian pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kami masih tetap terdiam membisu di halaman, di tengah kobaran api yang kian mengecil dan para tetangga yang kembali ke rumahnya masing-masing. Aku menggenggam sesuatu. Kubuka tanganku. Oh, ternyata sobekan halaman dari buku terakhir yang tadi dibakar. Kulihat sebuah kalimat yang mencolok di sana, tentunya tulisan bapakku, terjemahan dari kalimat asli buku berbahasa Inggris tersebut. Di sana tertulis kata-kata Sang Kaisar, Marcus Aurelius :
“Jadilah seperti tebing di pinggir laut yang terus dihujam ombak, tetapi tetap tegar dan menjinakkan murka air di sekitarnya.”
“Baiklah, amor fati ! Aku nrimo, siapapun di luar sana tidak dapat menyakiti tanpa izin dariku !” demikianlah, tekad yang kuucapkan di hatiku sekaligus janji untuk menularkan kekuatan ini pada adik-adikku.
Sementara tulisan yang satu ini, di dalam catatan Kang Taufan ditulis dikirimkan ke redaksi surat kabar Bintang Timur[1]
Selanjutnya, ada cerita pendek lainnya dari Kang Taufan,
Mada Hanyalah Manusia
“Tak pernah aku sekecewa ini” sahut Mada kepada Eva. “Lihatlah nasib kita, semakin hari semakin terpuruk. Sehari makan untuk kemudian dua hari berikutnya perut kita kosong. Tulang-tulangku semakin rapuh, dan sendi-sendiku ngilu. Aku ditindas keadaan. Sementara perut kaum kapitalis semakin melebar saja. Pergi ketika masih gelap, dan pulang ketika matahari beranjak tidur lagi, tak merubah nasib kita.”
“Dan kamu, Eva, turut bersalah ! Kamu tak membantuku apapun, bahkan kamulah yang menyebabkan kejatuhanku ! Dulu aku tak begini !” Eva terdiam. Dari matanya menetes air mata. Ia tidak membalas tuduhan suaminya. Sia-sia pikirnya. Ini bukan kesekian kalinya dia mengeluh. Maka Eva menelan sendiri tuduhan dan keluhan suaminya.
“Aku tak bisa membantumu ? Ya, memang, malah mungkin aku menjadi bebanmu !”gumam Eva membalas tuduhan suaminya. “Tapi aku selalu ada disampingmu, apapun yang terjadi. Ketika kau kaya, berharta, berpangkat, begitu pula ketika engkau jatuh, dihinakan, papa, aku setia, tak pernah sedikitpun berpaling darimu ! Sebab jika aku mau, tentu aku sudah pergi jauh-jauh dari sisimu ! Lalu, bagaimana sahabat karibmu, Mahesa, bukankah Ia berjanji akan membantumu ?”
“Ah, Mahesa egois !”Mada terlihat geram ketika Eva menyebut nama itu. “Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Pernah suatu hari Ia mengatakan kepadaku, jika ada apa-apa mintalah kepadanya, jika kamu ada kebutuhan, bahkan jika katanya kamu hanya membutuhkan tali sepatu pun, mintalah kepadanya ! Kenyataanya ? Aku meragukannya !”
“Padahal, perasaanku, apa yang Dia minta selalu kita penuhi. Apapun yang Ia mau, selalu kita ikuti, apapun yang Dia bilang tidak boleh kita lakukan maka kita pun tidak melakukannya. Namun, balasannya kok seperti ini ? Apa yang salah dari kita ?”
“Kita pernah melakukan kesalahan kepadanya. Dan mungkin itulah yang menyebabkannya ragu pada kita. Kita telah melukainya, kita telah mengkhianati kepercayaannya,” ujar Eva lirih.
“Kalau bukan karena kamu, Va, kalau bukan karena bisikanmu, Aku tak mungkin melukai Mahesa. Seperti yang sudah kubilang, kamulah yang menyebabkan kejatuhanku !” untuk kesekian kalinya Mada menuduh Eva.
Eva terdiam. Ia nrimo. Ia sudah kebal. Pastilah Ia yang akan selalu disalahkan. Bukankah begitu nasib kaumnya. Untuk apa-apa yang dilakukan Mada-Mada yang lain, maka Eva-Eva yang lain yang harus siap menerima getahnya. Padahal, Ia tidak berniat buruk, hanya membantu suaminya. Ia mempertemukan Sylbi dengan Mada, supaya ada perbaikan nasib ke depannya.
“Aku siap bantu” ujar Sylbi kepada Eva yang nampak gelisah. Sylbi menjentikan abu dari rokoknya. “jangan khawatir, tenang saja, aku tak mengharapkan imbalan apapun. Tidak ada syarat dan ketentuan berlaku dalam pemberianku. Kamu bisa bandingkan dengan sobat karib suamimu, si Mahesa. Ia pasti minta macam-macam, seperti kesetiaan dan hal-hal cuih lainnya ! Aku tidak seperti itu ... aku akan menawarkan sebuah jalan, yang aku pikir merupakan jalan satu-satunya agar kalian berdua bahagia selamanya,” Eva pun mengangguk mengiayakan. Eva tidak bermaksud buruk, tapi memang demikianlah adanya, Ia dituduh menyeret suaminya dalam masalah. Masalah yang menyebabkan mereka terpuruk dan jatuh sejatuh-jatuhnya.
Mahesa mengetahui perbuatan mereka berdua. “Kalian sungguh tak tahu diri, setelah apa yang sudah Aku lakukan untuk kalian berdua selama ini. Padahal yang Kutawarkan hanya kenikmatan belaka. Tak perlu kamu susah-susah. Aku hanya meminta hal yang sederhana saja, kalian menurut saja padaku ! Apakah Aku meminta hal yang berlebihan ?” ada nada marah dalam suara Mahesa. Mada dan Eva tertunduk malu. Mereka malu karena telah mengkhianati kepercayaan Mahesa.