Kau Berkata

Dewinda
Chapter #31

31

Isarat tahu. Tanpa perlu Kevia mengutarakannya benar-benar, ia paham kalau kedatangan Kevia hanya untuk mengucapkan perpisahan. Dan kenyataan itu memberikan makna yang sama sekali lain pada Isarat akan dunia yang terpisah oleh sang wanita.

Sebulan telah berlalu, Isarat tidak lagi mendekati masjid. Tidak, ia tidak membenci masjid. Seperti yang pernah ia katakan kepada Kevia, ia tidak membenci siapa pun, atau apa pun, karena mereka sudah tidak lagi di sisinya. Seperti halnya, semua tentang masjid, pengurusnya, pengunjung-pengunjungnya, serta tulisan emas besar di kedua sisi mimbar.

Ibu-ibu yang tinggal dekat dengan rumahnya, yang suka sekali menyapanya, beberapa kali mengetuk pintu. Menawarkan kebaikan, mempersembahkan pedulinya. Kadang dengan makanan, kadang dengan menanyakan keadaannya.

Isarat menanggapi seadanya. Tersenyum seadanya. Mengangguk seadanya.

Adzan beberapa kali datang ke rumahnya, pagi hari ketika semburat keemasan menyeruak di kebiruan langit, kadang ketika selaput kelam telah menyelubungi rumahnya. Mencoba membujuk anak nakal yang tidak menurut pada guru, agama, serta panggilan masjid.

Isarat tidak bergeming.

Inilah cara hidupnya selama 25 tahun. Kalau ia tidak terlibat apa pun, maka ia tidak perlu disakiti oleh apa pun. Masjid telah menyakitinya, maka ia memilih mundur. Membiarkan masjid itu mengagungkan dirinya, di tengah tunduk-sujud para manusia. Ia bukan salah satunya karena ia pun telah tertolak.

Pria itu kembali pada rutinitasnya. Menyusuri tepi-tepi jalan yang tak ramah pada manusia, mengumpulkan sisa-sisa kepongahan mereka. Nafsu. Isarat memikirkan itu lagi. Sementara, Adzan dan Kevia terus mengingatkannya untuk mencegah nafsu yang akan terbit ketika matanya memandang kepada mata wanita itu, nafsu manusia terus saja mengisi karungnya.

Berbagai plastik-plastik beraneka bentuk dan ragam, botol minuman, dan bungkus makanan, menunjukkan betapa manusia tunduk pada hasrat pribadi. Keganjilan lain bagi Isarat adalah, nafsu mereka membantunya untuk tetap hidup. Maka, kenapa nafsu itu harus dilenyapkan?

Isarat menggerakkan tubuhnya seperti mesin mekanis. Meraih plastik dengan tongkat panjangnya yang runcing, mengailnya, memasukkannya ke dalam karung. Ketika ada harapan di dalam tempat sampah di depan rumah, ia mulai mengais.

Botol minuman lagi. Styrofoam dengan aroma makanan basi, lagi. Isarat mengibaskan beberapa lalat yang mengerubungi sampah makanan yang tercampur di dalamnya. Seekor lalat hijau besar membandel. Bukannya pergi, ia mendarat di atas foto karikatur dua paslon Presiden dengan kendaraan surrealis mereka.

Pria itu tertegun. Ia meraihnya. Lembar-lembar itu telah kusut, tapi kata-kata yang tercetak masih jelas. Ia membalik halaman berwarnanya. Merah, hitam, hijau tua … dalam hati, Isarat mengulang-ulang pelajarannya mengenal istilah-istilah warna.

Putih, warna jilbab yang sering dikenakan Kevia. Merah muda, warna gamisnya yang sering terurai di atas lantai teras rumahnya. Cokelat yang cerah, warna matanya yang sering memantulkan sinar matahari pagi dari sisi kanan rumahnya.

Ia membalik lembar-lembar yang telah banyak robek itu. Jokowi vs Prabowo Jilid Dua. Politik. Ia tidak tertarik. Dua orang ini, wajahnya terpampang kemana pun dia pergi. Dan orang-orang terus berkata, pilih si ini, pilih si anu. Adzan pernah bercerita sekilas, salah satunya akan menjadi presiden yang mengurus negara dan penduduknya. Itu berarti Adzan. Itu berarti ia. Dan banyak lagi. Kira-kira, apakah salah satu dari kedua orang ini akan membetulkan nasibnya?

Daripada karikatur aneh itu, ia mengamati setiap bentuk huruf cetak yang tidak berkarakter. Yang tak menginsafi kepribadian penulisnya. Dingin, kaku.

Membuang majalah yang robek-robek itu, ia lalu melihat sebuah buku. Kumpulan puisi. Oh, Kevia pernah mengajarkan puisi-puisi itu. Sulit baginya memahami rangkaian kata-kata yang tersusun seakan-akan acak itu, tapi dia merasakan keindahannya. Siapa yang bisa-bisanya tidak menikmati buku dengan keindahan kata-kata hingga terbuang begini?

Biar indah, huruf-huruf itu tercetak kaku. Kalau ia melihatnya dalam bentuk tulisan tangan si penulis, apakah akan semakin indah makna puisi itu? Isarat tidak tahu, tapi ia akan senang memahami lebih dalam pribadi si penulis lewat goresan-goresan penanya sendiri.

Huruf-huruf itu, menyambung jadi kata-kata, terus menjadi kalimat. Kenapa ia tertarik pada semua itu? Kenapa tiba-tiba saja ia jatuh cinta pada kata-kata?

Ia terdiam.


Pamuk


Lihat selengkapnya