Kau Berkata

Dewinda
Chapter #32

32

Adzan tersenyum ke arah Isarat. Ia menepuk-nepuk pundaknya, lalu bangkit. Pria berpeci putih itu menggoreskan satu kata, Assalamu’alaikum, keselamatan bagimu. Tidak menunggu balasan, pria itu keluar dari rumah Isarat.

Isarat menatap sosok punggungnya yang melintas sekilas dari balik jendela rumahnya. Ia melirik secarik kertas di mana Adzan menuangkan semua pikirannya. Ia mengetuk-ngetukkan jari. Seberkas sinar matahari senja merembes masuk. Melukiskan semburat warna jingga di atas lantai rumahnya yang putih.

Lama, hingga gelap menguasai sekitarnya, Isarat masih diam terpaku.

Terbersit lagi kata-kata itu.

adalah salju ….

… orang sunyi dan puisi ….

Dia, orang sunyi, telah dipertemukan dengan Kevia, sang puisi yang terbit perlahan di hatinya.

dunia yang membenci, sebesar mencinta ….

Kevia yang menunjukkan bahwa cinta masih ada untuknya, di tengah-tengah kebencian manusia-manusia. Dialah Kesabaran dalam semua Kemarahan. Dia yang menyalakan lilin … ketika Isarat telah memutuskan untuk menutup matanya, satu-satunya indera yang menjadi penghubung antara dirinya dengan semua yang di luar dirinya.

Kevia, yang seperti itu, mencintai Allah SWT. Jadi, mungkinkah bukan Allah SWT ini yang menebar kebencian di hati manusia itu? Karena Kevia tidak mempunyai benih-benih itu. Bagaimana dengan Adzan? Bagaimana dengan wanita paruh baya tetangganya itu?

Siapa Dia, yang katanya Maha Kuasa, yang dicintai oleh Kevia dan Adzan itu? Isarat menyadari keadaan yang sudah gelap. Ia menyalakan lampu rumahnya. Di sudut ruang depan rumahnya, menumpuk buku-buku pemberian Kevia dan Adzan, yang belum terbaca semua olehnya.

Ia menatap nanar ke arah mereka. Ragu, ia berjalan menjauh. Menatap lagi ke arah mereka, lalu mencoba mendekati. Ia menggeleng, terlalu banyak kekecewaan. Dari buku-buku itu, ia mendapat harapan. Lalu, dijatuhkan oleh harapan yang tak tersampaikan.

Pria itu menjatuhkan dirinya di depan tumpukan buku-buku yang mulai berdebu. Menatap buku-buku yang serasa menatapnya balik. Yang mengajak serta, masuk ke negeri angan-angan, di mana Eropa, Afrika, Islandia, Jerman, negeri-negeri di mana tingkah dan bentuk manusianya berbeda. Negeri di mana dewa-dewi berkulit gelap berada. Negeri tempat peri-peri berambut keemasan berdiam.

Di antaranya, buku-buku tentang ilmu-ilmu keislaman tertumpuk di satu bagian sendiri. Istilah-istilah yang asing di matanya. Ia menggumamkan satu per satu judulnya dalam hati.

Bukankah perilaku manusianya tergantung oleh pendidikannya? Termasuk dari agamanya?

Isarat memilih salah satu lalu membukanya. Belum-belum, ia sudah melihat rangkaian huruf-huruf Hijaiyah. Bersinggung-singgungan satu sama lain. Dia sudah mempelajari ini; Bismillaahirrahmaanirraahiim, yang artinya "Dengan nama Allaah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".

Terngiang lagi kata-kata Adzan, jangan hukum agama karena perbuatan manusia. Begitukah? Hanya karena Allah adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, belum tentu umat-Nya bisa mengikutinya. Manusia bukan Tuhan, begitu Adzan berkata. Maha adalah yang paling dari yang paling. Sedang manusia terbatas, baik dalam perilaku dan ilmunya.

Namun, bukankah manusia sudah sewajarnya mengikuti Sang Khalik? Mengikuti sifat-sifat-Nya? Sekalipun tidak sempurna, bahkan tidak mendekati? Setidaknya, mencoba? Atau mengikuti pedoman yang paling dekat, sekalipun terpisah oleh jarak waktu dan budaya, yaitu Rasulullaah SAW atau Nabi Muhammad SAW? Mana yang paling benar diucapkan, dia tidak tahu.

Lihat selengkapnya