Sejak saat itu, Isarat melahap buku-buku agama, demi mengerti manusia-manusia yang mengagungkan nama Allah SWT ini, tapi tak pernah berlaku seperti-Nya. Semakin banyak ia baca, semakin ia mengerti, bahwa manusialah yang bersalah, bukan aturan-aturannya. Bukan hukum-hukum atau sistem-sistem yang diterapkan.
Semakin lama, perasaannya semakin membaik. Ketakutannya akan agama Islam dan penganutnya pelan-pelan mereda. Benar juga, kalau hubungan manusia rusak, terkikis pula agamanya. Kalau hubungan itu baik, maka agama akan kuat menjadi pegangan.
Dengan pikiran-pikiran begitu, Isarat mengumpulkan sampah-sampah seperti biasa. Namun, detak jantungnya tidak. Ia merasakan ada sesuatu yang mengganggunya, tapi tidak tahu apa. Udara terasa mencekik hari ini, seolah pekat diisi oleh kabut padat.
Pria muda itu berhenti di tengah-tengah perjalanannya. Lalu, mendongak. Akan hujankah hari ini? Ia melihat awan-awan yang berjalan pelan, beriringan. Merebak di antara langit yang biru. Tidakkah terlalu pekat warna biru itu? Tidakkah terlalu tebal awan-awan itu?
Mencoba mengusir pikiran yang buruk-buruk, ia kembali berjalan. Bermain-main dengan imajinasinya, selagi kakinya melangkah. Otaknya pun tidak membantu. Ia membayangkan yang aneh-aneh, imajinasi yang muncul kebanyakan buruk dan menakutkan.
Ada apa dengan hari ini?
Ia membuka tutup tong sampah biru, mencoba mengais botol-botol bekas apa saja. Ketika ia melakukannya, tertangkap olehnya dua orang pria tengah berbicara di balik pagar rumah. Raut wajah mereka serius, tampak marah.
Salah seorang bahkan menghentak-hentakkan tangan, sedang seorang lagi menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya tertarik kepada mereka, terus-menerus melirik ke sana, sekalipun rasa takut menjalar di hatinya. Hush, bukan urusanmu! Isarat menegur diri sendiri. Lalu, berjalan tak tentu arah lagi, ke mana kakinya membawanya. Kalau bisa, jauh-jauh dari orang-orang dengan gerakan berisik itu.
Namun, hal lain terjadi lagi. Mengusik pikirannya lagi. Kali ini, beberapa orang, lebih banyak dari dua, membentuk lingkaran di hadapannya. Berbincang-bincang, dengan raut wajah yang sama dengan dua orang di balik pagar. Raut wajah tegang. Raut wajah marah. Raut wajah cemas.
Memang ada sesuatu yang terjadi. Di seberangnya, ibu-ibu yang menggendong anak, dengan yang tidak, melempar tatapan cemas ke arah pria-pria yang tengah berkumpul. Ia ingin bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Mengingat kejadian beberapa minggu lalu, ia sadar kalau banyak orang yang tidak menyukai, bahkan mencurigainya.
Maka, ia berlalu. Membiarkan kecemasan bergumpal-gumpal di sana, tak tahu mau diapakan.