Kau Berkata

Dewinda
Chapter #34

34

Orang-orang yang meninju-ninju udara itu bergerak beriringan.

Isarat meragu, haruskah ia mengikutinya? Tidak ada Kevia, jadi seharusnya ia tak perlu cemas. Kevia tak akan bergabung dengan massa seperti ini. Namun, bagaimana kalau Kevia berada di suatu tempat di mana mereka melewatinya?

Pria itu menekan keningnya. Ribut sekali, berisik sekali. Gambaran orang-orang yang berbaris, mengacungkan kepalan tangan ke udara. Meninju-ninju udara yang bergerak malas. Raut wajah mereka tidak menyenangkan. Rasa syukur menyelinap ke hatinya. Telinga yang enggan bekerja itu jadi penyelamatnya kali ini. Dengan nanar, ia menatap satu per satu orang-orang yang murka. Apa bedanya mereka ini dengannya?

Mereka tidak bisa mendengar, tuli oleh kebisingan mereka sendiri. Mereka mengeluarkan suara, tapi tidak melempar kata dari satu pada yang lain, sibuk meraung sendiri. Mereka jelas melihat, tapi bagaimana mungkin mereka memaknai tanpa memahami, dari pendengaran dan kata-kata?

Mereka tuli dan bisu, ia ingat salah satu ayat di Al-Qur’an. Entah kenapa, Isarat mengingatnya saat melihat mereka. Dan jangan lupakan, buta. Karena mereka tidak berpengetahuan, tidak menginginkan pengetahuan, hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Seperti dirinya, ketika belum mengenal kata-kata. Dan Kevia.

Isarat berputar-putar, mengedarkan pandangannya ke tengah-tengah massa yang terserak. Di mana Kevia?

***

Isarat menerobos barikade manusia-manusia yang haus akan kekerasan dan kekejian binatang. Ketika manusia-manusia itu merangsek maju, ia berjalan ke arah sebaliknya. Melewati mereka, ia keluar dari gerombolan itu.

Hidungnya mengendus. Bau asap? Begitu ia menoleh ke belakang, ia terperanjat. Lidah api telah menari-nari di dalam Kelenteng, merayap pelan ke arah atapnya. Dibakar! Tempat ibadah penganut Agama Buddha itu![1] Seperti yang mereka lakukan padanya! Isarat membelalakkan mata. Kenapa orang-orang ini? Ada apa dengan mereka?

Isarat masih terpaku akan keindahan keji dari tarian merah-oranye-kuning itu, tanpa menyadari hidungnya telah kebas akan asap yang memerihkan. Ia terkejut saat merasa tangannya ditarik. Dalam ketegangan itu, ia hampir saja melayangkan tangannya, untuk membela diri. Bagaimana kalau ada yang hendak membakarnya lagi? Seolah-olah dia sampah yang mengganggu?

“Kevia!” Mulutnya bergerak, walaupun tidak ada suara yang keluar. Dia dipaksa menurut, Kevia menarik-nariknya dengan panik. Wanita itu menggerakkan bibirnya dengan cepat. Beginilah kalau emosi telah menguasai, logika pun lenyap. Mana mungkin Isarat mendengarnya, atau membaca gerak bibir yang cepat seperti itu?

Saat Isarat hanya mengernyitkan alis, barulah Kevia mengambil buku catatan yang tergantung di lehernya sendiri lalu menulis. Dalam kericuhan ini, pria itu hampir saja tersenyum senang. Bukankah dengan keberadaan buku catatan dan pena yang tergantung itu, artinya Kevia masih berharap akan bertemu dengannya?

Lihat selengkapnya