Kau Berkata

Dewinda
Chapter #35

35

Di tengah-tengah kekacauan pikir dan rasanya, ia melontarkan pandangnya lagi kepada asap yang ditingkahi nyala jingga kemerahan kekuningan yang beruntaian. Pada saat itu, ia melihat mobil merah menyala merangsek melewati jalan-jalan yang tidak terlalu lebar, sedangkan tubuh mobil itu sangat besar. Dengan tangga besi yang panjang di atasnya. Dalam sekejap, air deras mengucur ke arah kelenteng dan api yang menyala-nyala reda dalam hitungan waktu setengah jam.

Tidak hanya itu, Isarat mengenali mobil polisi yang juga terparkir di sekitar kelenteng. Berikut mobil-mobil yang agak tinggi dengan cetakan logo dan Isarat melihat kata 'news' terukir di sana. Orang-orang berkamera besar dan orang bermikrofon pun keluar dari dalamnya.

Ribut sekali. Hampir-hampir Isarat hendak menutup telinga. Padahal, tak bisa mendengar pula kedua telinga itu.

Pria yang berpakaian mirip Adzan yang mendatangi mereka kini mengajak Kevia berbicara. Isarat bisa melihat kernyitan tak nyaman dari wajah wanita itu, tetapi sang pria terus mengajaknya bicara. Sesekali, mata Kevia terlontar padanya, tapi berpaling lagi sebelum ia sempat tersenyum atau apa pun.

Ia mundur. Entah kenapa, ia tahu bahwa ia harus menjauh. Dan, mencoba mengalihkan perasaan sesak ketika Kevia berbicara dengan pria itu, Isarat mengalihkan matanya. Asap kelabu yang pekat membumbung tinggi sekalipun tiada lagi bayang jingga kemerahan di atas langit.

Keributan telah usai. Setidaknya, begitu pikirnya.

***

Peristiwa pembakaran itu berlanjut dengan kasak-kusuk yang panjang. Dari Adzan ia mendengar bahwa beberapa orang yang memotori gerakan itu tengah diperiksa, bahkan menginap di balik jeruji penjara. Isarat tidak bisa membayangkan rasanya ditangkap begitu. Namun, berita-berita itu nyatanya tidak terlalu mengganggunya.

Ada sesuatu yang lain. Yang baru saja terbangun.

Isarat berjalan ke arah kanan di dalam rumahnya. Hanya beberapa langkah dan ia sudah tersudut oleh sisi dindingnya. Begitu pula saat ia berjalan ke arah sebaliknya. Ia tak benar-benar bisa memuaskan diri berjalan-jalan di rumah yang sempit, tapi tak apalah. Karena memang ia tak bermaksud untuk itu.

Dia hanya menggunakan kedua kakinya sebagai tuas penggerak otaknya yang tengah berpikir keras. Ada sesuatu dalam dadanya yang tumbuh, mendesak-desak. Seperti anak ayam yang mendorong hingga cangkang pelindungnya pecah. Seperti benih yang menyeruak dari bawah tanah menuju udara bebas di luarnya.

Dan dia paham.

Inilah nafsu. Kehendaknya untuk memiliki Kevia, untuk berjalan bersisian dengannya; untuk selamanya, mungkin.

Pria itu tidak tahan dengan dorongan baru ini. Ia lalu keluar, dengan tergopoh, berjalan ke arah masjid. Mungkin Kevia ada di sana, mungkin ia akan memintanya untuk berbicara sebentar. Biarlah disaksikan oleh orang-orang, daripada tidak.

Ia menghambur ke arah masjid. Matanya liar mencari-cari apa yang ia inginkan. Ia harus bertemu. Ia harus bicara. Biar lepas sesuatu yang mencengkeram hatinya ini, yang membuatnya sulit bernapas ini.

Isarat tersentak kaget. Seseorang telah menepuk bahunya dari belakang. Saat ia berbalik, ia mendapati Adzan, tengah keheranan menatapnya. Ia melafalkan ke-na-pa  pelan-pelan agar Isarat paham.

“Kevia mana?” tulisnya, di buku catatannya. Adzan mengedikkan bahu. “Aku harus mencari Kevia.”

Isarat baru saja hendar beranjak, tetapi langkahnya terhenti. Adzan menangkap lengannya, dan menghentikannya. Ia lalu menarik Isarat untuk mendekat. Menulis sesuatu di dadanya.

Lihat selengkapnya