Kau Berkata

Dewinda
Chapter #37

37

Masjid yang megah. Kevia yang bak ratu di kisah-kisah dongeng. Imaji itu terus terpatri di benak Isarat, tidak tahu entah kapan hilang. Ia tidak membuatnya sedih, ia tidak membuatnya marah, tapi ada kehampaan yang ia rasakan seiring dengan imaji yang melekat. Tak mau lepas.

Isarat melenyapkan keinginannya untuk menemui Kevia. Kalaupun ia ingin, tampaknya keinginannya hanya akan menjadi salah. Maka, ia teruskan hidupnya. Seperti kata-kata Kevia waktu itu. Ia mengenang lagi malam terakhir itu, malam yang memuat semua ketidakpantasan dari hukum agama, yang disetujui manusia. Biarpun hanya tangan yang tersentuh.

Ia mengenang lagi malam terakhir itu, semua kalimat-kalimat yang sebelumnya tak pernah terucap. Rasa yang tak pernah benar-benar diungkap. Ia paham sekarang. Itulah huruf-huruf perpisahan Kevia.

Di siang hari, ia bangun, bergerak untuk mencari uang. Karena ia harus makan, karena hal itu satu-satunya kebiasaan yang ia pahami. Setelah siang mundur, ia memejamkan mata. Tertidur, dengan kilas-kilas imaji yang ia tak pahami. Bergerak berputar-putar, menggoda, mengejek.

Kadang, ia terbangun kaget karena ia merasa jatuh ke kedalaman tak berujung.

Seperti hari ini pun. Setelah benar-benar menyadari bahwa ia tengah berbaring di kasurnya, dan bukan dalam palung yang gelap pekat, ia menatap jendela. Sinar matahari telah hangat membasuh lantai dingin kamarnya. Ia melihat gerak bayangan kelam dari balik tirai yang tertutup. Ketika ia buka, wajah Adzan yang tersenyum (merasa bersalahkah ia? Senyumnya begitu aneh) menyambutnya di depan pintu.

Ia tidak berbicara apa-apa ataupun berusaha menulis sesuatu. Mengangkat tangannya, ia memperlihatkan apa yang dibawanya, dengan tulisan yang tampak jelas terbaca. Tanpa perlu berkata-kata, pesannya tersampaikan lewat matanya, lewat gerak-geriknya, “Aku membawa surat dari Kevia.”

Pria tanpa kata-kata itu menatap Adzan, yang kini mengulurkan amplop ke arahnya. Terbayang lagi Kevia, wanita yang berdiri bersandingan dengan seorang pria di pelaminan, dengan semua yang tak sesuai dengan dirinya, semua yang rasanya penuh dengan kepura-puraan.

Amplop itu putih seluruhnya. Hanya guratan tipis tinta hitam yang terukir di atas amplop itu. Bertuliskan nama Kevia, dengan huruf-huruf membulat rapat-rapi-teratur miliknya.

Ia mendongakkan wajahnya. Menatap ke arah Adzan, ia memberitahukan keraguannya dari sorot matanya. Apa yang harus ia lakukan? tanpa sadar hatinya berujar begitu, berharap teman lelaki yang sekaligus gurunya itu mendengar. Adzan, seakan bisa membaca pikirannya, tersenyum ragu, mengedikkan bahu.

Apa yang sekiranya ingin disampaikan Kevia? Saat Isarat menatapnya, berbisik-bisik dengan suaminya, melakukan semua yang tak bisa ia lakukan kepadanya, Isarat paham kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kevia telah meneruskan hidupnya, seperti kata-katanya saat mereka terakhir bercakap-cakap di rumah ini.

Isarat,

Aku melihatmu berjalan menjauh dari masjid waktu hari pernikahanku. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tetapi aku ingin menjelaskan beberapa hal. Perlukah? Tidak tahu, tapi ini keinginanku. Jadi, bersabarlah sebentar dengan keegoisanku.

Lihat selengkapnya