Kau Berkata

Dewinda
Chapter #39

39

Hari ini, Isarat sedang untung besar. Rasanya, di mana-mana ada botol plastik. Gelas-gelas plastik air mineral juga banyak terserak, semakin banyak untung yang ia pungut. Dia berjalan tanpa benar-benar memikirkan arah yang ia tuju.

Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya. Isarat menoleh. Tertangkap olehnya wajah yang membuat nyalinya ciut. Ia ingat wajah itu. Pengurus masjid, yang memukul dan menendangnya. Orang yang seenaknya menuduh tanpa mau mendengarkan penjelasan isarat itu.

Dada Isarat seketika berdebar kencang. Pria itu mendekat, bibirnya bergerak, seakan ingin bicara dengan Isarat, tetapi pria itu terlalu takut. Ia menggeleng-geleng, lalu berbalik cepat, hendak lari sekencang-kencangnya.

Namun, tangannya terpaku. Pria itu telah menangkap sebelah tangannya. Isarat menggeleng-geleng lagi, ingin sekali mengatakan ia tidak mau berbicara. Dan hatinya telah bersumpah tidak akan mendekati masjid lagi.

Pria itu mengangkat sebelah tangannya yang tak menahan Isarat, ikut-ikutan menggelengkan kepala. Dia menunjuk kepada mulutnya, tertangkap oleh isarat kata 'bicara' terlafal darinya. Melihat Isarat terpaku sejenak, ia segera mencoba peruntungannya. Ia melepas tangan pria bisu itu dan mengatupkan kedua tangan. Bibirnya tersenyum, walaupun tampak janggal di matanya.

Isarat menelan ludah. Ia menaruh karung sampahnya, dengan berat hati membiarkan pria itu mencoba berbicara dengannya.

“Saya minta maaf.” Pengurus masjid itu menulis di buku catatan yang tergantung di leher Isarat, lalu menunjukkan kata-kata yang menyihir itu. Isarat mengernyit, menatap pria itu dengan waspada. Benarkah?

Ia menulis lagi, “Saya salah paham. Dan saya khilaf. Maaf.”

Khilaf? Isarat tak mampu menahan rasa, maka ia menggoreskan tanda tanya pada kata itu. Rasa penasaran Isarat mungkin mengelabuinya, tapi biarlah.

Pria itu mengangkat alis, lalu menulis lagi, “Tidak sengaja. Salah yang tidak sengaja. Maaf.”

Itu kata ‘maaf’ ketiga yang ia tuliskan. Isarat menatapnya lekat dan benar matanya menyorotkan rasa bersalah, juga permohonan maaf.

“Tidak mungkin mudah memaafkan saya, tapi coba datanglah ke masjid, biar kamu berbicara dengan beberapa orang. Orang-orang yang juga merasa bersalah.”

Isarat menatap mata yang penuh permohonan itu. Ia lantas menulis balasannya, “Bilang ke mereka, aku maafkan. Aku maafkan kamu juga.”

Ada kelegaan di matanya. “Datanglah ke masjid. Setiap Jum'at, Ustadz biasanya diam di sini.”

Isarat tidak lagi membalas. Ia lalu mengedikkan bahu, berjalan menjauhi si pengurus masjid, yang tidak lagi menghalanginya pergi.

Lihat selengkapnya