Pembicaraannya dengan Imam di masjid itu membawakan kelegaan yang besar di hatinya. Di antara kesempitannya akhir-akhir ini, hal itu membuatnya sedikit tenang. Ia tidak tahu kapan akan mengunjungi masjid itu lagi, tapi ia sudah bisa membayangkan dirinya berada di tengah-tengahnya.
Di tengah-tengah tulisan kaligrafi dari emas yang menari-nari. Isarat menghampiri tumpukan bukunya. Membongkarnya satu per satu. Di antaranya, ia temukan buku itu, buku yang membahas tentang keindahan bahasa Al-Qur'an.
"Surat At-Takwir ayat 18 secara harfiah berarti 'Dan demi subuh ketika mulai bernapas.' Di sini, ada personifikasi subuh. Subuh digambarkan sebagai makhluk hidup yang bernapas."[1]
Mengernyit, ia mencoba menggali-gali ingatannya, pernahkah ia mempelajari kata itu? Karena tidak menemukan, ia mengambil Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sudah tua, beberapa halaman bahkan sudah tersobek.
per.so.ni.fi.ka.si /pêrsonifikasi/ n pengumpamaan (pelambangan) benda mati sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saksi sumpah setia.
Isarat mengangkat alis. Oh, ya, itulah salah satu majas yang pernah disebut Kevia ketika mereka membahas tentang karya-karya sastra, cerita pendek, novel, puisi. Puisi. Kevia menyukai puisi karena itulah arti dari namanya sendiri. Ia mengingat lagi puisi yang pernah ia baca di sebuah buku yang telah terbuang. Sesuatu yang mirip dengannya, tentang kisahnya ... adalah salju yang mempertemukan orang sunyi dengan puisi ….
Orang sunyi adalah ia. Puisi adalah Kevia. Atau Keviakah puisi itu?
Pria itu menaruh buku yang ia baca, lantas mencari-cari buku lain. Ditemukannya buku kumpulan puisi. Ia mulai membalik halamannya. Satu per satu menunjukkan puisi-puisi dengan pengarang yang berbeda-beda. Dengan margin yang berbeda-beda, dengan pilihan kata-kata yang janggal, kalimat-kalimat yang tak masuk di akalnya. Misterius sekali puisi ini.
Setelah ia melahap habis buku kumpulan puisi itu, ia meraih selembar kertas. Ia mencoba menulis puisi, larik-larik dengan kalimat-kalimat janggal yang aneh itu.
Dalam pikiranku, aku bebas
Aku bisa menjadi awan
Yang melayang di langit biru
Menjadi angin
Yang berembus ke empat arah