Kau Berkata

Dewinda
Chapter #44

44

“Sudah,” tulis Adzan.

Isarat menelengkan kepalanya. Kedua alisnya bertaut, kerut-kerut menjembatani mereka. Mata lelaki itu lantas jatuh kepada mulut Adzan yang pelan-pelan melafalkan ‘pu-i-si-mu.’ Dan matanya segera membulat, berbinar cerah.

Dia mengatupkan kedua tangan dan menunduk dalam-dalam kepada Adzan dengan kedua ujung bibirnya tertarik begitu lebar. Alih-alih senang, temannya yang selalu berbaju koko itu mendengus, merengut.

Sampai-sampai Isarat menggerakkan mulutnya, ke-na-pa?

Mengembuskan napas, agak kasar, ia menulis cepat-cepat. Hampir-hampir tak terbaca tulisannya. Aku dimarahi oleh suami Kevia. Dia pasti berpikir aku mau mendekatkan kalian.

Pria tuli-bisu itu tertegun membaca huruf-huruf yang bersambung acak-acakan itu. Begitukah? Ia tidak pernah tahu bahwa menuliskan sesuatu adalah hal yang menyinggung orang lain. Memang Adzan pernah sekali mengatakan itu dosa. Ia tidak tahu sebabnya karena tidak ada yang rasa-rasanya terluka hanya karena puisi.

Begitukah? Rumit juga perasaan-perasaan yang tak terjelaskan di sekitarnya. Ia sendiri tak tahu bagaimana cara mereka bekerja. Pikirannya mengulang kembali imaji ketika Kevia bak Ratu yang tak terjangkau, berdiri bersisian dengan suaminya. Dan memang ada sakit yang menyelinap ke hatinya, sekalipun tak ada pisau yang nyata-nyata menusuk ke dadanya.

Isarat menggigit bibir bawahnya. Untuk sekejap, ia masih diam membisu. Namun, ia mulai membungkukkan tubuhnya, mengangkat penanya. “Apa aku menyakiti suami Kevia?”

Adzan mengangkat alis. Ia mengamati tulisan Isarat, seakan-akan begitu sulit untuk dipahami. Hingga ia menggaruk-garuk kepalanya. Dia mengangkat pena. Lalu, terdiam. Ia memutar-mutarkan pena itu di antara jari-jarinya. Lalu, terdiam lagi. Kini, ia mengetuk-ngetukkan ujung pena ke lantai.

Mengembuskan napas pelan, ia lalu mulai menulis, “Aku rasa lebih karena suaminya khawatir. Cemburu.”

Isarat mengernyit. Mengamati kata terakhir di atas kertas, kemudian mengalihkan tatapannya kepada Adzan. Ia menggoreskan tiga garis di bawah kata ‘cemburu’ dan tanda tanya di belakangnya.

Bukannya menulis jawaban atas pertanyaan itu, Adzan mendengus geli. Tawanya terlepas, membuat pria tuli-bisu di depannya mendelik kesal. Mengambil pena dari tangan temannya itu, ia lalu menulis, “Maaf,” dengan tiga tanda seru mengikutinya. Isarat hanya cemberut. Dia lalu melanjutkan, “Sakit hati karena pacarmu dengan orang lain.”

“Kenapa?”

“Karena kamu maunya dia bersamamu, kan?”

Isarat terperangah. Tidak pernah terpikir hal itu sebelumnya. Ia ingin bersama Kevia? Memang, kalau tengah melakukan hal bersama dengan gadis itu, ia bahagia. Perasaannya seakan membumbung, ringan, seakan hilang semua bebannya.

Lalu, perasaan aneh ketika melihat Kevia berdiri bersisian di pelaminan. Jadi, itulah cemburu. Sudah lama sekali sejak perasaan ingin memiliki itu tumbuh di dadanya. Dia tak punya apa pun, yang diambilnya pun semata-mata untuk bertahan hidup. Bukan karena indah benda itu.

Ia teringat buku dengan gambar sampul yang indah itu. Lalu, kata-kata yang mengalir di dalamnya. Betapa ingin ia memahaminya, memilikinya. Namun, kata-kata bisa dimiliki siapa pun yang berusaha untuk mendekatinya, yang berusaha untuk memahaminya. Mereka ada untuk siapa pun yang tahu menghargai.

Tapi, diri Kevia hanya satu. Mengingat ini, rasa sesak mulai menyelusup ke hatinya. Oh, jadi itulah cemburu.

Isarat merebahkan dirinya di lantai, kemudian memejamkan matanya. Memunggungi Adzan. Setelah beberapa saat ia tenggelam dalam keheningan, suara derit pintu yang nyaring menyentuh gendang telinganya dan ia diselimuti kesenyapan lagi.

Perlahan, senja melukiskan sapuan warna jingga kemerahan yang membias masuk dari jendela yang terbuka. Empat kotak kemerahan membayang di permukaan tubuh Isarat yang masih berbaring miring. Dan ia lenyap perlahan, meninggalkan pria itu.

 ***

Isarat membuka matanya dengan kaget. Mengerjapkan matanya, ia mengingat-ngingat sejak kapan ia tertidur. Ia hanya ingat rasa nelangsa yang menyelimutinya hingga yang ia inginkan hanya berbaring.

Dan rupanya Adzan telah pulang. Oh, ya, ia ingat suara pintu berderit. Pria itu bangkit dan melihat ke luar jendela. Kelam. Sebenar-benar kelam karena ia lupa menyalakan pintu teras depan. Kalau sudah begini, rasanya ia terpisah dari dunia.

Tidak mendengar apa pun dan tidak pula melihat apa pun. Bersyukurlah nyamuk-nyamuk masih mengingatkannya soal hidup. Dan ia membiarkan mereka makan hingga kenyang sementara ia menatap langit-langit ruang tamunya. Sekalipun kelam, bagian matanya berbelas kasihan memberikan sedikit bayang-bayang untuk matanya.

Cemburu. Kata baru.

Baru kali ini ia tidak menyukai suatu kata. Satu kata yang membuat dadanya sesak. Bukan hanya karena mengingat ia yang hilang, mengingat betapa sempit kehendaknya. Keinginan menguasai, keinginan memiliki. Seakan-akan Kevia adalah barang yang tak berarti.

Imaji-imaji kenangan yang terserak di kepalanya satu per satu berkelebat di kepalanya. Tidak lagi imaji itu berisi yang buruk-buruk saja, tapi dipenuhi dengan gambaran-gambaran yang indah, yang menyejukkan. Dan hampir kesemuanya diisi oleh Kevia.

Lihat selengkapnya