Kau Berkata

Dewinda
Chapter #45

45

Napas itu terengah. Menyebabkan dada naik-turun dengan cepat dan dalam. Sepasang kaki menghentak tanah, menyerakkan kerikil. Dan ia bergerak maju, begitu cepat.

Isarat tengah tertidur ketika pintu rumahnya menjeblak terbuka begitu saja. Ya, ia masih saja membiarkan pintu itu tidak terkunci. Tertutup dengan benar pun tidak. Namun pintu kamarnya setidaknya masih ia tutup dengan benar selagi tidur.

Adzan menggedor-gedor kamar itu. “Ah, mana dia dengar.” Dia menggaruk-garuk kepalanya seakan gatal sekali bagian kepalanya itu. Tangannya mencengkeram ponselnya.

“Buka sajalah. Maaf, Isarat.” Ia masuk begitu saja ke kamarnya. Seperti dugaannya, Isarat masih terlelap di atas kasurnya. Ia mengguncangkan bahu Isarat dengan cepat.

Tergeragap, Isarat melompat bangun. Dengan mata baru setengah saja terbuka, ia menengok ke segala arah, seakan mencari-cari sesuatu dengan panik. Adzan bangkit menghampirinya, menepuk pundaknya. Ia tersentak kaget.

“Hei, di sini,” sahutnya, walaupun Isarat tentu tidak akan mendengar.

Isarat memelototkan matanya dengan kesal. Namun, Adzan mengabaikannya dan malah mengangkat ponselnya ke depan mukanya. Memperlihatkan apa yang ada di balik layarnya.

Pria tuli-bisu itu mengernyit. Memuaskan diri dengan melempar pandang kesal sekali kepada Adzan, ia lalu mengambil ponsel itu. Matanya bergulir selagi ia menggerakkan layar sentuh itu dengan ibu jarinya. Dan matanya semakin terbuka. Semakin terbelalak.

“A! A!” sahutnya, menunjuk-nunjuk pada layar itu dengan panik.

Pria di sampingnya mengangguk-angguk semangat. Kali ini, senyum terbit di wajahnya.

Isarat mengibaskan tangan cepat. Tubuhnya tiba-tiba berputar ke kanan lalu ke kiri. Tangannya bergerak cepat di udara kosong. Memeragakan gerak orang yang menulis.

Adzan mendecak tak sabar lalu mengambil ponselnya dari tangan Isarat. Ia membuka aplikasi buku catatan dan menyerahkannya lagi kepada teman bisunya. Cepat-cepat Isarat mengetik. Atau, secepat yang ia bisa. Adzan menunggu beberapa saat.

“Puisiku.”

Pria berbaju koko di sampingnya mengangguk dengan mata berbinar.

Isarat mengerang, menggeleng-gelengkan kepala. Menarik tangan Adzan, ia meletakkan ponsel itu kembali ke tangannya. Dengan gerak tidak sabar. Ia keluar kamarnya dan memilih buku catatan dan pensil. Beberapa detik saja, tulisannya sudah tergurat di sana.

“Kenapa puisiku ada di sana?”

Memilih untuk mengetik, Adzan terpekur kepada layar ponselnya. “Kevia mengirimkannya.”

“Itu bukan untuk dibaca orang lain.” Dan Isarat menambahkan tiga tanda seru besar-besar di belakang kalimatnya. Mukanya merengut tak senang. Adzan mengangkat alis.

“Aku yakin Kevia bermaksud baik.”

“Baik gimana?”

“Artinya kamu punya nama sekarang. Dan bisa kirim tulisan lagi, kamu bisa dapat uang.”

Isarat menatap kalimat panjang itu. Mengernyit, ia membacanya baik-baik. “Apa maksudnya ‘punya nama’?”

“Orang mengenalmu. Tahu kamu menulis puisi.”

Lihat selengkapnya