Kau Berkata

Dewinda
Chapter #46

46

Pria tuli-bisu itu merengut. Sampah-sampah terbang begitu saja ke dalam karungnya. Beberapa kali, ia salah target dan mereka terlempar keluar, bukannya masuk ke dalam. Mengumpat dalam hati, Isarat memungutnya dan memasukkan dengan lebih perlahan.

Ya, sebagaimana orang yang menyerap segala di sekitarnya, ia pun menyerap kata-kata kasar. Sekalipun, Adzan terus-menerus memarahinya soal ini. Namun, ketika emosinya meluap, entah kenapa kata-kata itu sedikit melegakannya. Tidak baik memang, tapi dorongan mengucapkannya saat ini begitu kuat.

Karena ia kesal. Dengan uang yang ditawarkan Adzan padanya, dari Kevia, yang bertransaksi tanpa sepengetahuannya. Jelas, ia menolak mentah-mentah, tak mau tahu segudang alasan yang digaungkan Adzan padanya. Ia belajar kata-kata bukan demi uang. Menulis puisi pun bukan demi uang. Maka, lakukan demi amal jariyah yang tak putus-putus itu, menuturkannya kepada orang banyak.

Bayang kata-kata Adzan ini membuatnya berhenti melangkah, berhenti memungut dengan tongkat pengaitnya. Kekesalannya perlahan lenyap. Kalau ia bisa memberitahukan kepada dunia tentang apa yang ia pikirkan ... sesuatu yang selama ini terpendam oleh ketidaktahuannya akan kata. Dan, sekarang ini, ia punya kesempatan melakukannya.

Pikirannya, seperti biasa, melanglang buana tak tentu arah.

Pikiran.

Ide-ide, inspirasi.

Isarat mengingat kata-kata Adzan soal menulis.

Apa yang ada di pikirannya sekarang ini? Dituliskan?

Sepulangnya dari memulung, ia duduk terpekur. Menatap kertas-kertas yang berserakan. Ia putih, kosong. Terserah Isarat sekarang bagaimana ia mengisinya. Dengan apa ia terisi. Kata-kata yang bagaimana.

Ia mencoba.

Hari ini aku mengumpulkan sampah.

Lalu, apa lagi? Ia mengernyit. Ruang kosong setelah kalimat itu mengganggu batinnya, seakan mendesak-desak, menuntut-nuntut. Ia mengernyit dengan mata terbelalak, seakan tengah menantang ruang kosong itu. Seakan tengah berselisih dengan sepasang mata lain yang tak terlihat.

Ia membaringkan tubuhnya. Susah. Tidak segampang yang dikatakan Adzan. Saat ia berpikir begitu, Adzan sudah berada di depan pintu rumahnya. Bola matanya tertarik ke atas, ke arah Adzan yang berdiri di arah kepalanya menghadap.

Adzan menyorongkan ponsel ke arah Isarat. Dan ponsel itu dalam keadaan mati layarnya. Biasanya, ia menunjukkan kepadanya kalau ia mau berbicara sesuatu. Temannya yang bisu itu menatap ponsel yang tergeletak di lantainya sejenak, kemudian mengangkat wajahnya. Ia mengernyit dan mengedikkan dagu kepada Adzan.

“Untukmu,” tulisnya di atas kertas. Pria tuli-bisu di hadapannya terbelalak, begitu besar matanya hingga seakan mau melompat keluar. Segera saja, ia memundurkan tubuh seakan ponsel itu menyeramkan. Ia menggeleng cepat.

Adzan mengangguk.

Isarat menggeleng.

“Aku punya yang baru.”

Isarat menggeleng.

“Ini sudah tidak terpakai.”

Isarat tetap menggeleng.

Adzan menghela napas. “Ya, sudah. Tolong buangkan.” Ia lalu mengeluarkan sebuah ponsel baru dan memperlihatkannya kepada Isarat sambil mengangkat bahunya. Membiarkan Isarat yang masih menatap ponsel itu dengan takut-takut, ia beranjak.

Begitu ia keluar, pintu berayun otomatis dengan derit nyaring. Karena tidak tertutup sepenuhnya, ia masih bisa mengintip dari celah pintu itu. Ia melirik sedikit. Sosok Isarat masih mengamati ponselnya yang tergeletak di sana.

Tangannya terjulur ke arahnya, tapi terhenti. Menggelengkan kepala, ia tarik lagi tangannya. Adzan masih melihat ia menggaruk-garuk pipinya. Sesaat kemudian, barulah ia mengambil ponsel itu. Ia membalikkan ponsel itu, mengamati. Lalu, membalikkannya lagi.

Adzan tersenyum lalu benar-benar berbalik pulang.

Sementara itu, Isarat masih memandangi ponsel di tangannya dengan ragu. Haruskah ia menerima ini? Tapi, buat apa? Ia mengingat-ngingat bagaimana Adzan mengajarkannya sedikit.

Ia menekan tombol kecil halus yang hampir-hampir tak terlihat di samping kanan. Ia tersentak ketika lampu layar menyala. Matanya mengamati setiap huruf-huruf dan angka yang tertera di layar.

Geser untuk membuka.

Dan ia melakukannya. Lalu, gerbang itu terbukalah. Gerbang menuju sesuatu yang baru. Mata Isarat bersinar cerah.

***

“Hei, ngapain?” sapa Adzan, melihat Isarat berada di teras masjid.

Pria itu berlari ke arahnya sambil terbelalak ketakutan. Sorot matanya tampak cemas dan ia memucat. Buru-buru, ia mengambil buku catatannya, menulis di sana, “Mati. Dia mati.”

Adzan terbelalak kaget. “Siapa yang mati?” Dia balas menulis.

Pria di depannya itu buru-buru merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponsel milik Adzan yang diberikannya kemarin. Pria berpeci putih itu menepuk keningnya. Ponselnya, toh?!

“Bikin kaget! Kirain ada orang mati!” Setelah menusukkan titik-titik dengan keras, Adzan mendelik kesal kepada Isarat sambil menunjukkan tulisan itu. Temannya itu tertegun sejenak lalu tertawa. Menertawakannya. Dia mengetukkan ujung pena ke kepala Isarat sambil cemberut.

Malamnya, Adzan segera membawakan perlengkapan ponselnya, kotak-kotak beserta asesorisnya, termasuk chargernya. Dengan senyum lebar, temannya itu segera saja menggerakkan jarinya lagi di layar sentuhnya yang kini menyala setelah disambungkan dengan kabel charger. Menggeleng-gelengkan kepala, ia menepuk pundak Isarat.

"Jangan dipakai selagi terhubung ke listrik. Bahaya. HP bisa rusak, bisa juga terbakar."

Mata Isarat membelalak dengan informasi baru ini. Cepat-cepat, ia turunkan dari tangannya. Membiarkan layarnya mati perlahan. Adzan kemudian mengajarkan tata cara menggunakan ponsel pintar itu. Begitu banyak yang bisa ia lakukan, termasuk mencari informasi. Dengan mesin pencari, Adzan mengusulkan agar ia mencari tahu lebih banyak tentang tata cara menulis.

Dan, benar saja, begitu banyak artikel-artikel tentang menulis. Membuatnya pusing karena seringkali kalimat-kalimat itu panjang dan bertele. Kalau sudah begitu, ia akan hubungi Adzan dengan aplikasi Whatsapp, menanyakan banyak hal.

Isarat menatap langit-langit rumahnya. Pikirannya berkelana lagi tanpa tentu arah. Matanya membulat. Oh, bagaimana ia bisa terlupa? Puisi itu. Puisi yang seakan-akan dituliskan tentangnya itu.

Pria itu memejamkan mata rapat-rapat hingga kerut-kerut timbul di sudut matanya.

Bibirnya bergerak tanpa suara, “Adalah salju ….”

Ia terdiam, mengernyit.

Lihat selengkapnya