Kau Berkata

Dewinda
Chapter #48

48

Isarat tengah memilah-milah sampah ketika Adzan datang tergopoh. Sarung kotak-kotaknya sampai-sampai mesti ia angkat agar langkahnya bisa lebih panjang. Mengernyit, Isarat mengamati saja bagaimana sosoknya yang membesar di matanya.

Begitu sampai, ia terengah-engah. Bagai orang yang tengah ruku, ia menundukkan tubuh selagi ia mengatur napas. Tidak sekalipun Isarat menyela karena ia cukup tahu sia-sia menegur Adzan yang tengah melakukan ritual pelepas letih itu.

Adzan lalu menegakkan punggung, berseru dengan suara menggelegar, “Kamu tulis apa?!”

Pria tuli-bisu itu menelengkan kepalanya, hanya bisa menangkap raut wajah macam kesetanan dan mulut yang bergerak.

Mendecak keras, walaupun tahu Isarat tak bisa mendengar, ia terburu masuk ke dalam ruang tamu Isarat dan kembali dengan kertas. Di atasnya telah tertulis besar-besar apa yang ia teriakkan tadi.

“Banyak,” jawab Isarat singkat, menggunakan pena yang turut dibawa Adzan. Teman bersarungnya mendelik tajam.

“Puisi baru kamu,” tulisnya lagi.

Setelah termangu beberapa detik, yang rasanya berjam-jam bagi Adzan yang terus menggoyang-goyangkan pena yang terjepit di jarinya, Isarat membulatkan bibirnya.

“Oh, aku coba kirim.”

Adzan lantas cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan mengutak-atiknya sejenak. Tak lama, ia memperlihatkan laman sebuah media online. Dan, di layarnya, tercetak tulisan milik Isarat beberapa saat lalu.

Pria yang baru saja belajar puisi itu melompat dengan wajah cerah. Matanya membulat seakan tak percaya, bahkan ia mencubit-cubit pipinya sendiri. Ia menunjuk-nunjuk pada laman itu dengan senang hati.

Namun, Adzan tidak menunjukkan rasa senang, malah wajahnya memerah. Ia tampak marah. Menyadari hal ini, Isarat mulai kehilangan senyumnya. Ia mengernyit dan menatap pria di hadapannya dengan tatapan kebingungan. Dia yang tampak murka itu mulai menulis.

“Kau menghina umat Muslim.”

Isarat membacanya sekilas lalu terbelalak. Dengan panik, ia mengangkat wajahnya kepada Adzan dan menggeleng kuat-kuat. Muadzin masjid itu lantas merebut ponsel di tangan temannya lalu menunjuk-nunjuk pada bait ketika ia membicarakan orang-orang di masjid.

"Aku tidak menyebut nama agama," jelas Isarat.

"Kau menyebut masjid. itu petunjuk yang cukup jelas

“Bukan itu maksudku,” tulis Isarat cepat-cepat. “Aku pikir mereka lebih tenang. Karena beragama.”

Cuping hidung Adzan mengembang sekilas. Ia melirik tajam kepada Isarat yang mulai menunjukkan raut merasa bersalah. Menggelengkan kepala pelan, Adzan menulis lagi, “Kau tetap menyinggung.”

Mengerutkan dahi, Isarat balas menggeleng lagi. Lebih kuat, dengan sorot mata lebih tajam. Ia pun menulis, “Aku pikir perilaku mereka bisa merusak nama Islam.”

Adzan membaca tulisan yang sedikit goyah itu. Ia terdiam, tapi matanya tetap tak menunjukkan perasaan yang meneduh, rahangnya tetap menegang tanpa melembut. “Caramu juga bisa merusak nama kami.”

Isarat tertegun membaca tulisan terakhir Adzan. Pria itu telah berbalik, menjauhi temannya yang tuli-bisu.

***

Pria tuli-bisu itu duduk bersila. Baru sepersekian detik, ia telah bangun lagi, berjalan memutari rumahnya. Menarik-buang napas beberapa kali, ia mencoba untuk duduk. Selama beberapa detik ... ah, tidak bisa!

Lihat selengkapnya