Benar-benar Isarat mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang bergulir di kepalanya itu pada keesokan hari. Kevia selalu benar, ia mengamati ini. Bagaimana ia memprediksi semua dengan cermat begitu?
Sebuah telepon masuk. Isarat mengernyit. Ia mematikannya dan mengirim pesan. Aku tuli. Tidak bisa menelepon. Bisu pula. Tidak bisa bicara.
Balasannya hanya ‘Eh’ dengan tanda tanya dan tanda seru digabungkan. Apa maksudnya? Nomor yang sama mengetik lagi. Ia menanyakan alamat. Isarat mengernyit. Segera menolak karena ia tidak merasa kenal.
Balasan panjang masuk beberapa menit kemudian. Dia menyatakan bahwa ia adalah salah satu editor di media online tempat Isarat mengirim puisi. Ia mengirim banyak gambar-gambar sebagai bukti.
Setelah mengamati mereka dan berpikir-pikir beberapa saat, Isarat akhirnya mengetikkan alamatnya. Sesudah itu, ia taruh tongkat besi dengan pengait tajam pada ujungnya di tempat yang mudah ia raih. Kalau orang itu macam-macam, ia bisa segera bertindak.
Hanya selang satu jam, pria yang mengaku sebagai editor media online itu sampai ke rumahnya. Ia tidak tersesat, hebat juga, pikir Isarat. Menunjukkan tanda pengenalnya, Isarat pun semakin teryakinkan. Tampaknya memang benar ia bekerja untuk media online itu.
Reaksi awalnya hanya tersenyum dengan raut terkesima. Menatap terus-terusan ke arah Isarat. “Wah, wah,” gelengnya pelan. Sementara, Isarat masih mengernyit ke arahnya.
Mencoba mengabaikan tatapan tak sopan miliknya, ia lantas menulis, “Aku ambil minum.”
Pria di depannya menggeleng cepat. “Nggak bisa lama-lama, gue mau pergi lagi.”
Isarat mengernyitkan kening. Ia menggariskan kata ‘nggak’ dan ‘gue’. Editor itu mengangkat alis, menatap Isarat lagi setelah melihat tanda itu. Ia lalu mengangguk.
“Tidak bisa lama, aku masih ada perlu.”
Pria tuli-bisu itu lantas mengangguk paham. Mengacungkan jari telunjuk yang dikenali Isarat sebagai isyarat ‘tunggu’, ia menulis lagi. “Boleh aku ambil fotomu? Untuk profil penulis yang sudah kami terbitkan. Tulisanmu terkenal.”
Isarat mengangguk saja. Dan editor itu mengambil foto banyak-banyak. Tidak hanya dia, tetapi seluruh rumahnya. Sampah-sampah hasil pilahan yang bertumpuk di sudut halaman depan, semua.
“Buat apa?”
“Buat data pendukung. Kami akan memberitakan kamu.”
Isarat menelengkan kepala. Apa maksudnya dengan memberitakannya? Berita, ia tahu kata itu. Tapi, memberitakannya?
Lalu, pria itu menunjukkan satu laman yang sering dilihat Isarat, tapi ia tak paham maksudnya, maka selalu ia abaikan. Itulah media sosial. Di sana, ia menunjukkan tagar yang sedang ‘trending’. Alisnya terangkat ketika Isarat bertanya apa maksudnya.
Maka, dijelaskannyalah. Itu artinya, puisinya itu sedang menjadi fokus pembicaraan orang banyak. Kira-kira 1 juta lebih orang-orang di Indonesia yang memang hobi berselancar di media sosial. Isarat mengernyit. Orang banyak? Membicarakannya? Dia yang hanya punya satu teman ini?
Pikirannya ini membuatnya nelangsa kembali. Satu temannya mungkin tidak akan lagi menemuinya. Mungkin membatalkan hubungan apa pun yang pernah terjadi. Hanya karena satu puisi.
Pria itu juga menunjukkan cara bagaimana ia bisa melihat komentar orang-orang. Isarat menekan tagar yang trending itu; #puisibejatIsarat. Kata itu aneh betul, tapi ia bisa melihat di ujungnya ada namanya.