Kau Berkata

Dewinda
Chapter #50

50

Dari tempat persembunyiannya, ia bisa melihat salah seorang menoleh ke arahnya. Isarat mundur cepat sepelan yang ia bisa, lantas membekukan tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang. Hanya tunggu waktu sebelum orang-orang itu menangkapnya dan melakukan entah-apa kepadanya.

Namun, tidak. Sebaliknya, orang yang menoleh itu telah mengembalikan perhatiannya kepada temannya.

Isarat tidak tahu berapa lama ia menunggu, hanya tahu ia harus sabar. Duduk memeluk kaki, ia diam. Tidak mau sedikit pun bergerak. Dunianya sebenar-benar sepi sekarang.

Pikirannya menerawang ke mana-mana. Tidak ada lagi Kevia. Dan Adzan marah kepadanya. Ia seakan kembali ke masa awal kehidupannya. Anehnya, kesepiannya terasa jauh lebih pekat sekarang. Sekarang, setelah ia mengenal betapa menyenangkan bergandengan tangan bersama seseorang, melakukan hal bersama.

Ia hanya berkata jujur, tetapi semua menganggapnya bersalah.

Garis kemerahan di ufuk Barat mulai menyeruak ketika Isarat kembali mengintip ke arah depan rumahnya. Tidak ada siapa pun. Benarkah? Ia beringsut perlahan, lebih dekat. Matanya menyusuri setiap sudut yang terjangkau pandangnya.

Tidak ada!

Pria itu mengembuskan napas lega dan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Berjalan berjinjit, entah kenapa, ia beranjak ke arah pintu depan. Begitu telah dekat, ia terbirit masuk ke dalam.

Dan untuk kali pertama, ia ganjal pintu itu dengan meja kecil tempat ia biasa menulis. Bahkan, menimbang-nimbang untuk meletakkan ember besar yang penuh air. Tentulah berat hingga siapa pun tidak bisa membukanya.

Siapa orang-orang itu?

Sepanjang malam, Isarat berpikir-pikir dan menimbang-nimbang siapa orang-orang yang datang itu. Tak satu pun ia kenal. Jelas bukan Adzan atau Kevia, bukan pula orang-orang yang biasa datang ke masjid, ia hafal wajah-wajah mereka. Kalaupun ada yang tampak asing, minimal gaya mereka telah dipahaminya. Sebaliknya, orang-orang yang datang tadi siang begitu asing, baik dalam wajah, gerak-gerik, maupun penampilan mereka.

Gerak-gerik mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan tanpa malu-malu ataupun segan. Tidakkah mirip dengan perilaku orang yang mengaku editor di tempatnya mengirim puisi? Cepat-cepat, Isarat meraih ponselnya. Ia tertegun sejenak melihat bayangannya di layar kelam ponsel itu, wajahnya muram sekilas.

Menarik napas dalam-dalam, ia lalu menyalakannya dan ibu jarinya segera bergerak cepat, walaupun canggung dan sedikit bergetar. Tak lama, bunyi notifikasi pesan bergaung di ruang tamunya. Isarat mengangkat alis.

Editor itu tidak menjawab pertanyaan yang ia ajukan, malah mengirim baris huruf-huruf yang penuh dengan tanda-tanda baca yang lain. Tulisannya pun tidak berwarna hitam seperti biasanya, melainkan hijau bergaris. Isarat mengernyit. Ibu jarinya bergerak menyentuh tulisan itu.

Ia terperanjat ketika tiba-tiba layarnya berganti gambar. Dengan panik, ia mengetuk-ngetukkan kedua ibu jarinya ke atas layarnya. Dengan sembarang.

Tiba-tiba, sebuah laman lain muncul. Di sana, sebuah foto yang menunjukkan wajahnya sendiri muncul di tengah-tengahnya. Isarat terperangah. Kenapa wajahnya ada di laman itu? Ia tidak pernah menaruh fotonya di laman internet. Boro-boro memasukkannya ke internet, berfoto pun ia tidak pernah.

Lantas, ia ingat. Editor itu kemarin sempat memotonya pula. Ia menggulirkan laman itu. Di sekeliling fotonya, laman itu penuh tulisan. Di samping kiri dan kanan penuh tulisan-tulisan yang jelas tidak berhubungan dengannya. Sedangkan, di bawahnya, namanya terpampang jelas.

Ia mulai membaca. Tulisan itu panjang dan penuh dengan kata-kata asing buatnya. Ia harus bolak-balik ke laman google untuk mencari-cari artinya. Setelah setengah jam membacanya sampai habis, pria itu mengembuskan napas. Mengusap wajahnya yang berpeluh.

Mengertilah ia sekarang. Ini maksud editor itu ketika mengatakan ia hendak memberitakannya. Orang-orang itu tentunya bermaksud sama; memberitakannya. Tidak ada penjelasan lain yang masuk akal.

Matanya bergulir kepada pesan yang dikirim sang editor. Lalu, di bawahnya, ada nama Kevia. Di bawahnya lagi, nama Adzan. Hanya tiga orang itu saja yang tahu nomornya.

Ia menghela napas.

Pria tuli-bisu itu beranjak, meninggalkan ponselnya di sana. Angin dingin senja menyambut ketika ia melewati pintu depan rumahnya. Kakinya berjalan asal saja, hanya mengikuti irama hatinya yang gelisah. Menghela napas, ia mengulang-ngulang lagi setiap kata dalam puisinya.

Dia menghina? Tidak, dia menyatakan kebenaran. Pilih kata-kata? Ah, seberapa hebat ia memilih kata, padahal ia baru saja berkenalan dengannya?

Isarat terus saja menunduk. “A!” Suara erang lemah terdengar dari celah bibirnya yang terbuka. Mengangkat wajahnya, ia melihat tongkat besi yang besar dan tinggi. Ia mengusap-ngusap keningnya yang terantuk tongkat besi yang di ujungnya menyangkut kabel-kabel hitam-besar.

Pria itu meringis. Begitu matanya telah kembali pada sekitarnya, ia menyadari bahwa tiang listrik itu berdiri tepat di samping masjid. Isarat tercenung sejenak.

Lihat selengkapnya