Ia mengernyit dalam menatap kertas yang baru saja dibalik, masih kosong-melompong. Setelah beberapa lama mengetuk-ngetukkan penanya, ia menulis, “Itu benar, tapi caramu menyampaikan seakan-akan yang membakar semua orang. Padahal, cuma satu orang yang melakukan. Iya, kan?”
Isarat termangu. Ia lalu mengangguk.
“Dan kamu menyebut-nyebut salat dan Islam lalu menyebutkan orang-orang mudah kasar, seakan-akan yang kasar cuma orang Islam. Jelas orang beragama Islam akan tersinggung. Benar, tidak?”
Perlahan, Isarat mengangguk lagi.
“Jadi, aku sendiri tahu kalau semua itu memang benar terjadi. Tapi, kamu harus hati-hati dengan kata-katamu.”
“Bagaimana caranya?”
“Ya, kamu harus spesifik. Siapa yang salah, dia yang harus dihukum. Tapi, tidak perlu menyebut-nyebut kelompoknya. Yang berbuat jahat itu tidak hanya orang Islam. Dari semua agama, organisasi, negara, ada saja yang jahat dan berbuat kriminal. Mereka juga berbuat kriminal bukan karena disuruh kelompoknya, mereka banyak yang bergerak sendiri.”
Isarat membacanya lamat-lamat. Setelah beberapa menit, ia mengangguk.
“Kedua, kamu apa yang tidak kamu tahu benar, jangan disebutkan. Kalau tidak paham dan kamu bicara sembarangan, kamu bisa menyesatkan orang. Jadi, sebelum bicara tentang sesuatu yang kamu tidak tahu, cari tahu dulu.”
Isarat mengangguk lagi. Kali ini, dia menulis. “Aku bingung, jadi aku sebutkan saja apa yang ada di pikiranku. Karena kupikir benar.”
“Ya, jujur itu bagus, tapi harus dibedakan mana yang opini sendiri, mana yang fakta. Harus bedakan juga mana opini yang jelek, mana opini yang baik.”
“Lalu, kalau ditanya lagi harus bagaimana?”
“Fokus saja dengan yang baik, dengan fakta yang jelas.” Adzan menimbang-nimbang lagi. “Contohnya, kalau kamu mau cerita soal pembakaran itu. Ceritakan kronologisnya sedetail-detailnya, termasuk satu orang yang tersangka menyiram bensin dan melempar api. Tidak usah sebut nama kelompok, agama, suku, cukup satu orang. Sudah.”
Isarat mengangguk.
Adzan menatapnya. Masih merasakan ragu, dia melanjutkan, “Dan benar-benar hanya menceritakan fakta. Misal, kamu tidak lihat siapa yang menyiram bensin, kan?” Begitu Isarat mengangguk, Adzan menulis lagi, “Jadi, bilang begitu, apa adanya.”
Dia melihat temannya menunduk, lantas menghela napas. Adzan melanjutkan, “Susah memang, tapi kamu akan belajar juga. Aku tahu kamu tidak pernah berniat buruk.”
“Tapi, kamu marah," balas Isarat, menulis cepat hingga tulisannya cakar ayam.