Kau Berkata

Dewinda
Chapter #53

53

Tanpa sadar, Isarat telah duduk sepanjang siang. Hingga pintu terbuka lagi, ia masih duduk dengan posisi yang sama dengan kedua tangan menengadah. Hanya saja, karena pegalnya, ia taruh di atas pangkuan.

Adzan mengernyit ke arahnya. Ia lalu mengetuk-ngetuk bahunya. Isarat terkesiap dan segera mengangkat tangan untuk melindungi wajahnya. Namun, ia segera mengembuskan napas lega dengan mengurut dada ketika menatap siapa yang menjawilnya.

Pria yang menjawil itu tertawa. “Lagi apa?” Mulutnya bergerak pelan.

“Salat,” balas Isarat, menggerakkan mulutnya juga.

“Salat?” Kali ini, Adzan menuliskannya. Dan Isarat mengangguk.

Dia balas menulis, “Aku mencoba bicara kepada Allah SWT, tapi dia tidak pernah menjawab. Menulis juga tidak.”

Membaca ini, Adzan tergelak-gelak. Membuat temannya cemberut. “Aku tidak melawak.”

Pria itu mengangkat tangan, masih tergelak. Tidak lama, ia baru menulis lagi. “Memang bukan begitu cara kerjanya.”

“Bagaimana?”

“Dia tidak berbicara langsung, tapi memberi petunjuk.”

“Bagaimana cara memberi petunjuk tanpa bicara?”

“Seperti sekarang. Tiba-tiba aku tidak marah lagi dan terpikir olehku buat datang menjemputmu. Aku yakin, Allah SWT yang memberiku petunjuk dan, secara tidak langsung, memberikan jawaban atas doa-doamu. Allah SWT itu Maha Membolak-balikkan Hati. Lewat hati, lewat keyakinan, Dia memberi petunjuk.”

Isarat membacanya berulang-ulang sebelum ia menarik napas. Tampak keraguan masih menyelimuti wajahnya, walaupun ia mengangguk juga.

Dia lalu mengangkat tangan lalu menggoyang-goyangkannya. Menunjuk pada kertas-kertas yang bertumpuk. Isarat memberitahunya untuk salat Asar dulu sementara ia juga bebersih setelah pulang kerja.

Lalu, mereka duduk berhadap-hadapan.

Satu per satu, mereka mengamati barisan kata-kata panjang milik Isarat.

Adzan menunjuk. Dan mereka berdiskusi.

Terus-menerus. Tiap-tiap kalimat.

Hari ini, Isarat mulai belajar mengedit kata-kata yang keluar dari pikirannya.

Sedikit demi sedikit, ia mulai pula memahami makna dari nasehat Kevia untuk memilih kata-kata.

Pria itu termangu setelah melihat banyak sekali kalimat-kalimat yang tercoret dan kata-kata yang harus diubah. Ia menghela napas.

“Aku pikir,” tulis Isarat. Ia terhenti sejenak, memainkan pena yang ujungnya mengawang di udara, terpaut beberapa sentimeter saja dari permukaan kertas. Adzan mengangkat alis.

Lihat selengkapnya