Sekelebat sinar-sinar masuk menusuk retinanya. Berulang kali dia harus mengerjap demi menahan serangan mereka. Matanya terasa perih. Sesekali terbuka, matanya menangkap butir-butir cahaya yang berpendar, berkedip, berkelip. Adakah bayi-bayi yang baru keluar dari kekelaman dan kenyamanan di perut Ibu merasakan ini pula?
Isarat menundukkan kepala, melindungi mata dengan tangan. Dia rasa-rasa percuma saja tidak bisa mendengar kalau imaji-imaji di sekitarnya begini ribut dan mendesak-desak. Bagaimana rasanya kalau semua ini ditambah dengan telinga yang menangkap setiap keributan itu?
Hari begitu cepat berlalu atau dia saja yang terbelenggu cemas hingga melupakan detik-detik yang berdetik di jam itu? Isarat menarik napas perlahan sambil memegangi dadanya.
Bukan kali pertama dia dikerubungi oleh orang-orang begini. Namun, semua tampak berbeda sekarang. Dia menutup mata, bayangan di sana berubah. Apa-apa yang melekat di tubuhnya, siapa-siapa yang melempar pandang ke arahnya.
Dia melihat barisan manusia duduk berbaris, rapi, selaras. Tepuk tangan mereka pun selaras. Mata mereka terpaku ke arahnya, beberapa dengan kepala mendekat satu sama lain. Artinya, mereka tengah berbisik-bisik tentangnya. Entah apa gunanya, melihat jarak yang terbentang, bahkan angin bakal enggan untuk mengirimkan berita antara mereka.
Mengusir pikiran-pikiran ganjil di kepalanya, dia menggulirkan bola matanya kepada pria di sebelahnya, yang duduk dengan kepala terpekur ke arah sepasang tangan yang saling meremas.
Hal ini membuat Isarat menatap tangannya sendiri. Dia melakukan hal yang sama, lantas refleks berhenti. Merapatkan bibir, dia menahan dorongan untuk tersenyum. Sebaliknya, sangat perlahan, dia menarik napas.
Dan kepalanya terangkat, memandangi berbagai peralatan yang begitu baru baginya. Semua yang pernah terlihat dari balik layar datar. Sebuah lampu begitu terang menyorot padanya. Seakan memandang menuduh. Salah. Salah. Satu per satu kesalahan yang dia perbuat, semua yang membuat mereka marah.
Dia tersentak. Seorang wanita bergerak cepat melewatinya. Dengan tangkai hitam melintas di pipi ke arah mulut, Isarat melihat sepasang bibir merahnya bergerak cepat, terlalu cepat untuk ditangkapnya. Dia menunjuk-nunjuk bagai kesatria menghunus pedang.
Dadanya menjulang di balik kaus hitam ketat yang hampir tampak menyatu dengan celana jin hitam yang membalut rapat sepasang kakinya. Seluruhnya, serba berkebalikan dengan Kevia. Puisi yang bayangnya telah perlahan memudar.
Tangan putihnya menggesek pangkal tulang selangka Isarat saat dia membetulkan mikrofon yang tertempel di kerah bajunya. Pria itu tersentak pelan, merasakan kulit halus yang seakan menyetrumnya dengan lembut.
Dia mengingat lagi malam itu. Malam ketika dia mendengar kata “nafsu”.
Semua mengatakan ini tidak benar ….
Tapi, hanya mataku yang bisa menghubungkan aku denganmu ….
Hanya dengan meneruskan hidup ….
“Maka, dosa-dosa bisa termaafkan,” ulang Isarat dalam hati, mengingat kata-kata yang tidak akan pernah diketahui bagaimana suaranya. Lembutkah, keraskah? Dia yang terwujud hanya dari napas yang meremangkan kulit.
Lampu sorot dinyalakan. Seseorang mengangkat papan besar di tangan, hitam dan putih warnanya. Isarat melihat keberisikkan di sekitarnya. Mulut yang terbuka, tertawa, serta tangan yang berbenturan dengan sesamanya. Lalu, dia merasakan sepi.
Mengikuti semua petunjuk yang telah diberikan kepadanya, Isarat menatap seorang pria. Dia yang satu-satunya dengan mulut dan tangan bergerak-gerak. Isarat mencoba menangkap apa yang dikatakannya, tetapi gagal. Mulutnya terlalu cepat bergerak. Memang ada beberapa yang dia tangkap, tapi tetap gagal memahami hubungan-hubungan dari kata-kata itu.
Sementara, sang pembawa acara masih tersenyum ke arah kamera. “Dia salah satu orang yang tengah viral sekarang ini karena bakatnya dalam berpuisi dan menulis, padahal dia sendiri tuli dan bisu.
“Sebelum ini, dia tidak bisa baca-tulis. Baru beberapa bulan dia melakukannya, tapi dia bisa dengan cepat menguasai kata-kata, lalu menguasai dunia tulisan. Perkenalkan, tamu kita malam ini, Isarat!”
Orang-orang yang duduk berbaris dari baris yang teratur dari atas ke bawah mulai bertepuk tangan. Tampaknya, Isarat menyadari ini karena matanya segera mengamati orang-orang yang bertepuk.
Namun, tidak lama.
Sepasang matanya lalu bergulir kepada Azan yang telah mengangkat papan tulisan kepadanya. Itulah cara mereka berkomunikasi sekarang. Dia mengangkat alis pada tulisan Azan. Segera saja wajahnya memerah jambu.
Isarat, dengan tersipu-sipu, mengangkat papan ke arah depan. Papan itu bertuliskan, “Hai.” Dia tersenyum, tapi dengan cepat menunduk.