Pembawa acara kembali berbicara, seperti yang sudah-sudah, dengan tangan menggelisah. Dia tertawa, seakan tengah mencairkan suasana. Namun, dia gelak itu berhenti. Bibir tipisnya semakin menipis dalam satu senyuman simpul, kemudian dipandangnya mata Isarat baik-baik.
Tahulah, pembawa acara itu ingin berbicara kepadanya, langsung. Bibirnya bergerak lamat dengan mata tak berkedip, dia ingin menguji Isarat. Pria tuli-bisu itu tak henti memandangi geraknya, mencoba memahami setiap katanya.
Pu-i-si.i-ni.he-bat. Bu-at.o-rang.yang.ba-ru.be-la-jar.ba-ca.tu-lis.
Isarat cepat-cepat menulis pada papan yang disediakan. Dengan spidolnya. “Aku diajarkan orang-orang hebat.”
Pria berambut keriting itu tertawa, sekalipun Isarat bingung apa yang ditertawakan. Dia mengangguk-angguk dengan senyum yang dikenali Isarat sebagai senyum bangga.
“Ini namanya rendah hati tanpa harus merendah-rendah.” Dia masih sengaja menggerakkan bibir lambat-lambat. Isarat dapat merasakan wajahnya memerah. Namun, dia tidak melanjutkan, hanya berseru ke arah penonton, “Tepuk tangan untuk pujangga kita, Pemirsa!”
Dan gerak-gerak berisik itu masuk ke dalam telinga hati Isarat.
“Tapi ….” Dan punggung Isarat sendirinya menegak, cuping telinganya tampak berkedut sekilas. “Puisi ini mengandung penghinaan terhadap agama. Benar, tidak?”
Dia telah masuk ke medan perang yang sesungguhnya.
Jarinya bergerak lambat, seakan tengah menekankan setiap huruf yang tergores. T-I-D-A-K.
Pembawa acara itu mengangkat alis. “Kenapa tidak? Bukankah ini jelas-jelas menyebutkan orang-orang masjid dan orang-orang Muslim yang membenci?”
Kalimat itu panjang, maka Isarat menggulirkan bola matanya ke arah papan yang ditunjukkan Adzan padanya.
“Lewat puisi itu, aku bertanya,” tulis Isarat.
“Kenapa kalau Allah mengajarkan sabar, malah umat-Nya saling berkelahi? Tapi, aku tidak menghina Islam.”
Pria berambut keriting memalingkan wajah, menggeser duduknya. Dia tersenyum jengah. “Menghina umat agama tertentu bukannya berarti menghina agamanya?”
“Tentu tidak,” jawab Isarat. Tulisan itu cakar ayam. “Justru aku mengagungkan Islam. Islam seharusnya menurunkan nada suara. Islam seharusnya berkata baik. Islam seharusnya mencintai damai.
“Aku tinggal di kehidupan begitu. Memukul itu biasa. Berkelahi dan saling dorong terjadi setiap menit, tidak lagi setiap hari. Kalau terpukul, yang kurasakan sakit. Lantas, kenapa saling menyakiti sesama? Dan aku mencoba berkata tidak benar berkelahi dibenarkan dalam Islam.
“Ustadz mengajakku bicara di masjid. Aku tidak mendengar suaranya, tapi bisa kurasakan cara bicaranya lembut. Kenapa tidak memakai suara dan tingkah laku begitu? Kenapa tidak berlaku sesuai ajaran? Begitu Ustadz berbicara, semua masalah selesai.”
“Itulah bedanya,” sela si pembawa acara. “Ustadz itu punya kekuasaan. Dengan wibawanya, dia bisa mempengaruhi orang. Kalau orang biasa, kan, tidak? Bukannya harus berkelahi, tapi mereka harus tahu mempertahankan dan membela agama.”
“Ya. Kenapa tidak dengan bicara baik-baik?”
“Mungkin karena cara itu jarang berhasil.”
“Mereka bisa mencoba bertahap. Tahap pertama, berdiskusi. Yang sengketa bisa menyampaikan pendapat, bisa menyampaikan belaan.”