Kau Berkata

Dewinda
Chapter #56

56

 Badai yang telah berlalu menyisakan genangan-genangan air kenangan yang memantulkan refleksi apa-apa di sekitarnya. Begitu pula kisah Isarat, dengan Adzan yang terturut di dalamnya. Kota Depok beraktivitas seperti biasa. Motor berlalu meliuk menyalip mobil-mobil yang meraung kesal.

Di sana-sini, manusia terus berlalu-lalang. Kadang, kostum mereka menutupi apa yang ada di baliknya. Kostum Marsha tersenyum lebar menyelubungi pria kurus yang letih. Kostum manusia baja mengaburkan anak muda bertubuh ringkih, mungkin sekalian benaknya.

Kostum-kostum yang menentukan sang manusia, kostum-kostum yang membedakan strata sosial. Dia dengan kostum pekerja, dia dengan kostum penghibur, dia dengan kostum-kostum berbagai macam, menjalankan peran masing-masing. Isarat masih dengan kostum sederhananya, tapi dipastikannya lebih bersih, berkeliling mencari sampah yang memberinya makan. Kostum peci bulat putih dengan baju koko sederhana masih membungkus tubuh Adzan.

Lalu, seperti badai yang baru saja berlalu, peristiwa sebulan lalu masih meninggalkan genangan kenangan di hati keduanya. Adzan termangu-mangu menopang dagu. Isarat menginjak botol dengan kernyit di kening.

“Nggak percaya kalau kita pernah masuk TV.” Adzan berkata tiba-tiba.

Kata-kata itu disambut dengan pandangan heran dari Isarat, menatap lekat pada bibirnya yang baru saja bergerak. Adzan hanya mengibaskan tangannya.

“Sekarang begini. Seperti nggak pernah ada apa-apa.”

Isarat kembali menatapnya. Mengernyitkan kening. Aktivitasnya memipihkan botol-botol plastik sampai terhenti. Adzan hanya menyeringai, mengibaskan tangannnya lagi.

“Apa?” tanya Isarat dengan gerak bibir.

“Tii-daaak.” Adzan menggelengkan kepala. Dia menatap Isarat yang asyik dengan sampah-sampahnya, lantas mengambil satu botol dan menginjaknya hingga pipih, mengikuti gerak-gerik Isarat, yang jauh lebih cepat dan lebih berisik. Dia meringis setiap kali plastik itu terinjak. Sebaliknya, Isarat tenang-tenang saja.

Adzan menoleh. Seorang pria, tetangga Isarat yang rumahnya sekitar beberapa meter jauhnya dari rumah Isarat, menyapanya. Mengikuti arah pandang Adzan, Isarat menyadarinya pula dan turut melambaikan tangan.

Selanjutnya, dia beralih lagi dan menginjak sebuah botol plastik. Adzan menepuk pundaknya, menempelkan telunjuk kepadanya. Dia ternganga sekilas, melihat botol, lalu dia, lalu tetangganya, yang meringis. Isarat membulatkan bibirnya, lalu mengangkat tangannya, menunduk-nunduk kepada tetangganya. Pria itu hanya tertawa dan mengibaskan tangan sekenanya sebelum masuk ke rumahnya.

Isarat menghela napas, tapi Adzan menepuk pundaknya lagi. “Tidak apa-apa, tidak sengaja.”

Tersenyum, pria bisu-tuli itu mengangguk. Matanya menelusuri rumah tetangganya. Lalu, kepada rumahnya sendiri. Lalu, kepada langit yang melatari burung-burung yang melintas. Rumah para makhluk.

Lihat selengkapnya