Tuli adalah sunyi yang berisik. Kau tidak bisa mendengar apa-apa, tapi semua masuk lewat matamu. Gerakan-gerakan yang tidak henti-henti itu berisik. Mengusik-ngusik, sama sekali tidak berkasihan. Isarat lupa sejak kapan telinganya lupa untuk mengerjakan tugas. Dia hanya berhenti, mogok kerja seperti buruh-buruh yang tak digaji.
Dan karena telinganya berhenti mendengar, ia lupa pula semua kata-kata. Maka, hidupnya menjadi sunyi dari bisik-bisik yang berjalin-jalin di setiap bintik dalam otak. Lalu, lidahnya menjadi sedih dan menarik diri dari dunia. Dunianya kini tertutup. Dari informasi-informasi dan interaksi-interaksi.
Walaupun begitu, imaji-imaji terus berdatangan di pelupuk matanya. Kadang, ia tidak tahu dari mana. Mereka hanya terus masuk, merasuk. Bukan. Bukan dari peristiwa-peristiwa di hadapannya. Bayang-bayang yang datang dari masa-masa sebelumnya, entah bagaimana, ia pun tidak tahu.
Seperti sekarang ini. Imaji itu tergambar di pikirannya. Seorang anak kecil hanya berpakaian singlet dan celana dalam, berlari-lari di kelok-kelok berdasar beton yang dicor. Sempit, dipagari rumah-rumah yang hanya dua meter lebarnya dan bertempelan seperti direkat oleh lem.
Di matanya, ia melihat jalur-jalur itu berkejaran berkelok kiri-kanan, terus-menerus. Dilihatnya anjing menyalak, anak-anak membuka mulut mereka lebar, dan rumah yang berlari berbalik darinya. Dan ia ingat, ia merasa semua bertepuk untuknya, mengelukan anak yang berani berlari kencang. Sekalipun, tak satu suara pun yang menjadi bukti, dan Isarat pun tak begitu peduli.
Sekarang ini, berbeda. Isarat melangkah perlahan-lahan. Kepala yang dulu terangkat, dengan mata lurus menatap ke depan, tertunduk berkeliaran. Sebuah karung beras terpanggul di bahu kiri, sementara sebuah logam panjang berkarat dengan ujung serupa kait pancing, hanya saja berukuran besar, tergenggam di tangan. Sebagai senjatanya menghadapi hidup.
Bola matanya bergulir ke salah satu sudut tembok pembatas. Sebuah gelas plastik kecil terbaring diam di sana. Dengan sekali caplok, gelas itu melayang perlahan melewati bahunya, masuk ke dalam karung beras. Kakinya sendiri tak berhenti berjalan. Ia tak berhenti kalau hanya sebuah. Sudah jadi keahliannya berjalan sambil mencaplok-caplok apa yang ada di bawah kakinya.
Ia berjalan melewati setapak yang berundak-undak karena banyak bagiannya yang sudah hancur. Dan tak satu pun yang mau memperbaiki. Sandal jepit dengan tali yang kelonggaran tak cocok dengan kontur itu, kadang-kadang kakinya terperosok masuk lubang, membuat kakinya keseleo. Sekalipun, ia sudah sering melewatinya dan selalu berusaha hati-hati.
Penat sekali berjalan kaki di daerah ini. Apalagi, ia harus sesekali turun ke jalan karena pedagang makanan membangun tenda di sana. Kalau sudah begitu, ia harus hati-hati dengan mobil atau motor yang melaju kencang. Pernah ia kena tabrak dan ia pula yang dimarahi.
Tapi, pilihan apa yang dia punya? Memang itu satu-satunya tempat untuk berjalan kaki kalau setapak itu diambil lahannya.
Baru beberapa detik berjalan, Isarat sudah mencaplok-caplok lagi. Gelas plastik, botol plastik; perolehannya banyak hari ini. Mata Isarat berbinar ketika sebuah botol kaca dengan tutup kekuningan tergeletak di tengah trotoar yang ia lewati. Seorang wanita di depannya tanpa sengaja menendang botol itu hingga ia bergulir, masuk ke salah satu lubang trotoar.
Ia cepat-cepat menghampiri dan memungut botol itu. Kaca begitu, tidak mungkin tertembus oleh tongkat berkaratnya.
Membetulkan topi pancing khaki yang lusuh, ia berjalan lagi. Tanpa sadar akan apa yang diperbuatnya, Isarat bersenandung. Tidak ada melodi memang, ia hanya menyenangi getaran yang timbul dari tenggorokannya dan menggelitik anak tukaknya hingga menjalar ke rahangnya. Getaran itu menenangkan.