Isarat berjalan perlahan. Di tengah kota, dia jarang mendapat peruntungan. Semua telah habis dilahap oleh orang-orang berbaju oranye. Anehnya, ia tidak merasa kekurangan. Tangannya mungkin kosong, tapi matanya tenang. Tak perlu melihat-lihat ke bawah, ia mulai mengangkat wajahnya.
Matanya menatap langit di kejauhan, biru berhias awan bergumpal-gumpal, kadang dihiasi sapuan putih yang lebih mirip kabut. Kendaraan-kendaraan beroda, dua atau empat, menembus kepadanya atau keluar dari padanya. Di kepala Isarat, ia mirip dengan gerbang menuju antah-berantah, dunia yang tak ia kenal.
Di sisi kiri-kanannya juga ada pintu-pintu. Didampingi oleh kaca-kaca besar yang menunjukkan gambar yang dibingkainya. Gambar para manusia yang sibuk bergerak di balik kaca itu. Seperti pertunjukan barang di balik etalase.
Seorang wanita, yang menyenangkan untuk dilihat mata Isarat, tengah membawa sebuah nampan berisi makanan. Ia mendekati dua orang yang tengah duduk berhadapan. Tersenyum, ia menyajikan piring-piring kepada dua pelanggannya. Senyum itu bertambah manisnya ketika ia berbicara entah-apa kepada dua pelanggannya, yang menyimak ke arahnya.
Isarat terkesima. Langkahnya terhenti, sampai-sampai ia tanpa sadar telah menggerakkan tubuhnya. Ke arah wanita di balik kaca. Ketika wanita itu selesai bicara, matanya tertarik ke atas, seakan bisa merasakan tatapan Isarat. Pandangan mereka bertemu di tengah-tengah, membuat sang pria tersentak.
Ada rasa panas menjalar di wajahnya. Ia pernah merasakannya dulu sekali. Cepat-cepat ia menoleh, lalu berjalan lagi. Lebih cepat, meninggalkan wanita dengan senyum memikat hati.
Seumur itu, ia sudah banyak menjalani pengalaman. Dan seharusnya ia paham ia tidak boleh menengok pada etalase kaca yang mempertunjukkan hal-hal yang tak terjangkau itu.
Lebih bagus kalau ia melihat benda-benda yang tidak bergerak. Yang selalu mempertunjukkan bentuk-bentuk yang berbeda bentuk, walau tidak pernah bergerak. Bentuk-bentuk yang terpampang di mana saja. Di tiang listrik berwarna kelabu, di selembar kain besar warna-warni yang ditempel di rangka besi, di kaca transparan pun ada. Berbagai ukuran, berbagai warna, berbagai model liukan.
Mata Isarat mengikuti tiap-tiap bentuk itu. Dan, dengan otomatis, jari-jarinya bergerak meniru bentuk itu. Mengira-ngira bagaimana garis-garis itu terbentuk, kapan ia dimulai dan kapan diakhiri. Apa maksud titik kecil di atas segaris kecil dan garis tipis yang menebas bentuk serupa kail pancing?
Imaji-imaji yang terserak terpilih lagi oleh otaknya. Ia mengingat sebuah buku bergaris-garis banyak; rapi dan teratur. Ia duduk di samping seorang pria yang berdiri, berperut buncit yang hanya berlapis singlet. Seperti juga dirinya.
Matanya tiba-tiba menunjukkan setetes darah kecil di atas buku bergaris. Isarat tersentak. Menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berjalan cepat. Ah, bentuk-bentuk itu tak memberi manfaat, malah membuatnya pusing.
Isarat berbalik. Seharusnya, terpikir dari tadi ke mana ia harus melangkah. Menunggu lampu lalu-lintas berubah menjadi merah, ia melintasi garis-garis putih yang dicetak dalam satu kolom lurus.
Sambil tetap menyusuri matanya ke sudut-sudut jalan, ia berjalan lurus melewati jalan yang menanjak. Ia tersentak. Sesuatu telah menumbuk lengan atasnya. Dan ia melihat sebuah gelas plastik bergulir memutar. Ia spontan mengangkat wajahnya.
Dari mana gelas plastik itu berasal, ia melihat sebuah mobil berwarna biru melewatinya. Supir mobil itu menjulurkan tangan, mengacungkan ibu jari. Isarat hanya bisa mengernyit. Mengurut dada sekilas, ia lalu membungkuk mengambil gelas plastik itu.
Berjalan cepat-cepat, ia malah membuang gelas plastik itu ke tempat sampah. Tidak memasukkannya ke karungnya. Wajah itu berubah menjadi masam. Gelas plastik yang terbuang tergeletak bisu di atas sampah-sampah lain.