Kau Berkata

Dewinda
Chapter #3

3

Ia spontan berteriak melihat isi popok yang berbau menyengat itu, walau hanya suara ‘a’ panjang yang terdengar putus-putus dan lemah.

Mengguncang-guncangkan kakinya, ia mencoba mengusir benda yang kini menempel di sana. Aroma kotoran segera menyentuh indera penciumannya, membuatnya mual. Perutnya mulai berkontraksi.

Isarat menahannya, tentu. Mengernyitkan seluruh permukaan wajahnya, ia gosokkan ujung tongkat kepada kaki yang terkena tahi. Terdengar suara orang mendekat. Pria itu terkesiap. Benar saja, dua orang laki-laki mendekat kepadanya.

Ia langsung kabur. Pasti ia akan disalahkan karena sampah yang bertebaran, yang paling menjijikkan pula. Seharusnya sampah begitu tidak dibuang sembarangan. Toh, biasanya orang buang air pun di kakus yang isinya langsung terbuang. Dia tidak tahu ke mana, tapi tempat itu tentu tertutup rapat, hingga baunya pun tak keluar.  

Daerah yang dilaluinya kebetulan dekat dengan kali Ciliwung yang membelah Jakarta hingga Bogor, termasuk Depok ini. Ia lalu cepat-cepat mencari jalan menuju ke bawah. Ada tangga yang dibuat warga khusus untuk mengunjungi tepi kali itu.

Mungkin untuk anak-anak bermain? Padahal, kali itu kotor sekali. Berwarna karamel gelap, tapi tidak menggiurkan atau manis seperti karamel yang sebenarnya.

Ia pernah sekali melihat gula yang digosongkan hingga ia menjadi cokelat, seperti air kali itulah. Kalau tidak salah, ketika ia masih kecil. Ketika ia masih bersama dua orang dewasa yang mengurusnya dan beberapa anak dengan usia tak jauh darinya yang suka sekali mendorong-dorong dan menjulurkan lidah. Untuk apa? Mana Isarat tahu.

Sel-sel otaknya bekerja lagi, mengingat aksi yang menyenangkan itu. Cokelat muda mengilat itu bisa memanjang, ditarik semau pemiliknya. Matanya akan mengikuti tangan pria yang cekatan membentuk gula yang dipanaskan itu. Seperti sihir, ia membentuknya berbagai rupa.

Ia pernah mencoba, tapi yang ada tangannya langsung melepuh karena panas. Panasnya bahkan melebihi air teh panas yang ada di tempat makan biasa ia membeli pengisi perutnya. Ah, mungkin serupa setrika wanita yang sempat mengurusnya. Isarat ingat panasnya yang tak tertahankan, menyiksa setiap ujung sarafnya. Ketika bagian bawahnya ditekan pada tangannya. Oleh wanita itu.

Mengernyitkan kening, pria tuli-bisu itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Sembari mendecih-decih, tangannya menggosok-gosok bagian kaki yang terkena tahi lalu dibilas dengan air sungai. Berikut tongkatnya. Akhirnya, kotoran itu lenyap, bersih. Ia melihat bagian kakinya yang lain. Penuh kotoran-kotoran yang telah kering dan menempel kuat.

Dengan air kali kotor itu, ia cuci kakinya. Biar lebih bersih. Aneh juga, kenapa air kotor tetap bisa membersihkan kotoran. Atau mungkin karena banyak air itu? Sehingga kotorannya pun terserak di mana-mana, jadi tetap ada bagian yang bersih? Isarat mencoba mengira-ngira.

Pria itu menoleh ke arah kanan. Aliran air kali sedikit lamban hari ini dan ia membawa sampah-sampah yang dibuang oleh manusia. Mengangkat alis, Isarat melihat sebongkah sampah. Semua terkumpul berpilin-pilin; ranting, akar-akar, dedaunan lebar-lebar dan panjang-panjang, termasuk pula botol-botol dan gelas-gelas plastik.

Lihat selengkapnya