Isarat kerap bermimpi. Biasanya, yang terlihat imaji-imaji yang sama. Anak kecil yang duduk meringkuk di sudut rumah, mengamati bayang kelam yang memanjang. Bayang itu berbeda rupa, berbeda panjangnya. Tapi, keduanya sama. Bergerak-gerak cepat. Tangan yang memanjang ke arah bayang yang satu. Tangan yang memegang sesuatu, lantas melemparkannya.
Anak lelaki di dalam mimpinya biasanya hanya mengamati gerak-gerik itu. Sebelum bayang itu memendek. Semakin pendek. Dan pada saat itu si anak melompat bangkit, mencari tempat persembunyian. Di lemari atau di bawah kasur.
Mimpinya kali ini; bayang itu menghilang, berganti sebuah tangan yang menangkapnya. Tepat sekali, pada saat yang sama, ia segera terbangun. Peluh telah membasahi dahi dan pelipis. Bahkan, kausnya lengket di badannya karena basah punggung berikut badan bagian mukanya.
Isarat segera memegangi dadanya, lalu berjalan ke luar kamar. Tidak lama, ia telah sampai kepada ruang dengan kompor di dalamnya. Satu kompor minyak tanah teronggok di sudut dapur, tak terpakai lagi hingga berkarat. Berkebalikan dari zaman dulu, minyak tanah kini malah jadi barang mewah yang cukup mahal, maka kompor itu tak berguna lagi.
Sebaliknya, kompor gas yang dulu terkesan mewah sekarang menjadi hal paling dibutuhkan di rumah tangga. Gasnya pun murah sekali. Satu tabung bisa buat sebulan, apalagi karena Isarat jarang memasak. Lebih suka membeli saja. Ia mencari ceret logam di sana, lantas menuang isinya ke gelas.
Sambil mengibas-ngibaskan kerah kausnya, ia menenggak satu gelas penuh. Langsung. Tetes-tetes air yang terlepas dari mulutnya dibiarkan mengalir hingga terpercik di atas lantai semen yang kasar. Setelah beberapa gelas air lenyap di balik kerongkongannya, Isarat mengembuskan napas. Meletakkan gelas itu ke tempat sebelumnya.
Pria itu mengernyit sekilas, mengusap-ngusap perutnya.
Ia lantas berjalan keluar dari kamar itu. Keriut keras yang tak pernah didengarnya bergaung ke seluruh ruang yang hanya berjumlah tiga di seluruh rumah. Ia tak perlu menutup karena pintu yang sudah lepas engsel atasnya berayun menutup sendiri, walau tidak pernah bisa rapat karena tidak lagi bersesuaian dengan kusen.
Berbelok ke samping kanan, ia berjalan menyusuri kegelapan di sana sebelum membuka pintu belakang. Darinya, semburat cahaya kekuningan melepas cahaya temaram. Rumah peninggalan zaman pra kemerdekaan NKRI itu terlihat dari sumur dan pompa yang berada di sampingnya.
Tepat di depan sumur dan pompa, terdapat satu kamar mandi tanpa atap. Terbuat dari semen. Cukup luas untuk mandi dan toilet sekaligus, seperti layaknya kamar mandi di Indonesia. Semua serba digabung. Isarat masuk ke kamar mandi yang hanya berisi satu ember kecil berisi sabun-shampoonya, satu ember besar dan toilet jongkok. Ia melongok ke dalam ember yang besar. Kosong.
Ia keluar lagi.
Untuk menarik air dari sumur, ia harus menarik-dorong tuas dari atas ke bawah terus-menerus. Dan air bakal keluar dari corong pompa manual itu, yang langsung tertampung oleh ember hitam yang ia taruh tepat di bawahnya. Dengan itu, ia isi penuh ember besar di kamar mandi.