Isarat menarik gerobak kayu yang terparkir di depan rumah bedengnya itu. Gerobak yang dibangunnya sendiri. Karena tangannya kurang ahli, gerobak itu agak goyah dan kelihatan akan rubuh dengan sekali gebrakan, tapi rupanya bertahan hingga sekarang dan kekuatannya juga mencukupi untuk pria itu mengangkut beberapa karung sampah ke pengepul.
Pelan-pelan, roda gerobak itu berderak dengan putaran yang kurang stabil. Kadang miring ke kiri, kadang terseok ke kanan. Ia dan gerobaknya menyusuri kota Depok yang sudah sangat ramai, yang setiap hari macet di titik-titik tertentu. Kalau dia kebetulan pergi saat akhir pekan, bahkan ia pun akan ikut terjebak di tengah-tengah kemacetan. Dia! Yang berjalan kaki ini!
Menghindari makhluk-makhluk yang selalu terburu-buru itu, Isarat masuk ke dalam kompleks perumahan. Kompleks perumahan yang sudah tua, tidak terjaga oleh satpam, bahkan tanpa portal penghalang.
Walaupun masing-masing memakai pagar yang memisahkan mereka dengan dunia di luar diri mereka. Berbeda dengan rumahnya sendiri, tidak berpembatas, tidak berkunci, memang tiada apa pun. Orang-orang yang berada di balik pagar, mungkin mempunyai banyak hal yang harus mereka jaga.
Saat ia berjalan perlahan, ia disalip oleh dua orang pria berpakaian putih-putih, dengan peci bulat putih menghias kepala mereka. Dua orang disusul oleh tiga, lalu seorang, lalu dua. Bersusul-susulan, ke arah yang sama. Ini juga pemandangan yang tak asing bagi Isarat. Namun, ia asing dengan semuanya, ia terpisah dari mereka.
Mereka berbicara dan mendengar, berpakaian rapi dan bersih, semua yang tidak dipunya oleh pria itu. Mereka semua masuk ke balik bangunan megah, yang didominasi warna putih dan hijau. Dengan hias-hias emas di antara ukir-ukiran dindingnya. Kalau dia kebetulan lewat, dia akan berhenti, mengaguminya. Apalagi, ada ukir-ukiran yang indah meliuk-liuk, seperti barisan garis yang menari-nari.
Ada pula bangunan yang tak seberapa besar, tak seberapa mewah, tapi selalu dihias oleh ukiran itu. Orang-orang berpakaian mirip juga kerap masuk ke dalamnya, jadi mungkin ia bangunan dengan fungsi yang sama. Dan di dalamnya, ada orang yang berdiri, lalu membungkuk, lalu merebahkan diri ke lantai. Aneh sekali.
Tempat asing, tempat yang tak berani ia masuki, karena terlalu berbeda dengan dirinya sendiri.
Isarat keluar dari perumahan itu, menuju jalan utama. Itupun tidak lama. Beberapa meter saja, ia sudah kembali berbelok masuk ke sebuah gang, menyusuri rumah-rumah di tengah pemukiman padat. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, kadang-kadang hanya bersinglet dan bercelana dalam. Hiruk-pikuk itu ikut dirasakan Isarat, mulut-mulut terbuka hingga menampakkan anak lidah, gerak mereka yang tidak henti-henti.
Ibu-ibu menjewer anaknya, dengan mulut bergerak-gerak cepat, matanya membelalak, Isarat seringkali menunduk ketika melewati pemandangan ini. Ia tak kuat, melihat wajah yang berkerut-kerut dan mata yang seolah-olah akan keluar dari rongga itu. Ia takut.
Ada kilas-kilas ingatan masuk ke pikirannya, tapi segera ia usir. Ia tidak mau memikirkan masa lalu lagi, tidak ingin mengingat-ingatnya.