Kau Berkata

Dewinda
Chapter #7

7

Peristiwa kecil itu membuat Isarat harus berjalan memutar hanya untuk menghindari pria keji itu. Perjalanan panjang melewati gang yang berkelok-kelok, kadang menurun –yang membuatnya harus memegang gerobaknya kuat-kuat agar tidak meluncur jatuh–, akhirnya tuntas. Keluar dari gang itu, ia menemukan sebuah area luas yang terbuka, yang dipisahkan oleh pagar seng yang tidak bertemu ujung-ujungnya.

Di balik itu, sebuah rumah bedeng sederhana, mirip dengan rumah Isarat sendiri, hanya saja lebih luas dan memanjang, berdiri santai-santai. Di depannya lahan gersang yang sebagian besar sudah ditutupi oleh sampah-sampah plastik. Menggunung, seakan berbangga diri. Kau berkehendak atasku, maka kau telah kukuasai. Rasa-rasanya seperti itulah ketika Isarat melihat tumpukan itu.

Tanpa kata, Isarat menurunkan karung-karung beras berisi sampah plastik yang telah dikumpulkannya selama seminggu. Salah satu pria berkumis dengan tompel besar di bawah mata menimbangnya. Lumayan, Isarat dapat uang sebanyak Rp120.000.

Uang itu diulurkan ke tangan Isarat. Ia menerimanya, cukup mengangguk sedikit. Pria itu hanya mengedikkan bahu, lalu mengurus sampah hasil kerja keras Isarat. Beberapa pemulung lain juga tampaknya sedang menyetor sampah, Isarat menunduk. Tidak mau matanya bersirobok dengan mereka.

Walaupun begitu, beberapa yang telah mengenalnya menepuk bahunya, tersenyum padanya. Ia hanya mengangguk.

Rasa segan menyelusup ke hatinya, maka ia berjalan cepat-cepat untuk menghindar. Entah sejak kapan ia menghindari sesamanya itu. Tidak berniat untuk berkawan, menghilangkan sepi yang berkalang di hati. Lebih baik menghindar dari keributan itu dan tenggelam dalam kenyamanan di antara sampah-sampah bau, dengan getar yang menenangkan dari tenggorokannya.

 Kalau kepalamu terlalu sering menunduk begitu, tentunya akan ada risiko menabrak sesuatu. Isarat terkesiap saat dadanya terantuk buku-buku. Pria di depannya juga terkesiap. Dan tumpukan buku yang dibawanya oleng lalu jatuh begitu saja, satu per satu terhempas ke tanah kering, menyerakkan debu-debu yang segera mengepul seperti kabut tipis.

Isarat membelalakkan mata, membeku melihat kekacauan di sana. Dari asap debu itu, ia melihat sebuah lukisan muncul.

Ilustrasi buku itu aneh sekali. Semua serba putih dan berkilau. Ia sering melihat pohon, sering berteduh di bawah makhluk sejuk itu, tapi perasaannya mengatakan bahwa pohon ini berbeda. Bentuknya, warnanya, dan tentu, tanah yang menampungnya. Tidak pernah ia lihat negeri seperti ini, yang diliputi hanya oleh satu warna.

Lukisan itu membuat sesuatu tumbuh di hatinya. Seperti bunga yang pelan-pelan merekah. Seperti hembusan sepoi angin musim kemarau yang hangat. Tangannya meraih buku itu, mengangkatnya. Menelisik setiap ranting, setiap bebatuan, yang semua tertutup oleh lapisan putih.

Isarat merasakan hembusan napas di kulit wajahnya, ia terlonjak. Buru-buru, ia meletakkan lagi buku itu. Menenggelamkannya lagi dalam kepulan kabut debu. Pria tuli-bisu itu segera mengambil buku-buku yang lain dan menumpuknya.

Lihat selengkapnya