Kau Berkata

Dewinda
Chapter #8

8

Bisik-bisik di kepalanya menuntutnya untuk keluar lagi. Biasanya, setelah ia membawa sampah-sampah ke tempat pengepulan, ia akan beristirahat. Merebahkan diri di kasurnya, membiarkan pikirannya berkelana pada imaji-imaji yang ditemuinya dari hari-hari sebelumnya.

Hari ini, ia tak sabar untuk keluar lagi.

Sunyi-berisik hari ini tidak mengganggunya. Dengan senang hati, ia mengamati orang-orang, mencoba mencocokkan perasaan mereka dengan perasaan-perasaan yang pernah tumbuh di dadanya. Lewat mimik-mimik, ia menerjemahkan ketidaksukaan dan kesukaan, agar lebih dekat dengan mereka.

Dulu pernah ia melakukan ini, untuk berbaur dengan orang-orang, melepas hasratnya untuk memahami dan dipahami, tapi ia patah arang. Dan mudah ditebak, ia kemudian menarik diri. Berpura-pura sibuk dengan dunia sendiri.

Begitu membuka pintu, ia berpaling, refleks menutup mata erat-erat karena diserang oleh embusan angin kencang. Sesosok benda besi panjang dan besar melesat melewatinya. Matanya dengan cepat mengikuti gerakannya, melihat jendela-jendela yang membingkai wajah orang-orang. Banyak, ia tidak pernah bisa menghitungnya.

Lagipula, ia tidak pandai berhitung. Hanya sebatas seberapa jari-jarinya bisa memberitahunya.

Seperti biasa, ia melewati segerombolan ibu-ibu dengan berbagai ekspresi. Mereka bicara tentang sesuatu, Isarat memutuskan. Satu ekspresi, rasa Isarat, cocok seperti saat ia menemukan tong sampah dengan banyak botol-botol plastik. Satu ekspresi, rasa Isarat lagi, mirip dengan ia yang menginjak kotoran kucing. Dan seterusnya, dan seterusnya ….

Ada yang berbeda hari ini. Ia lupa akan laparnya, ia lupa akan hausnya. Ia tak memikirkan bagaimana cara membeli lauk di warung yang biasa ia datangi. Ia tak memikirkan seberapa banyak plastik-plastik yang akan dibuang orang hari ini. Dengan perasaan yang secerah matahari pagi, ia mendatangi tong-tong sampah.

Hari ini, ia mengumpulkan kata-kata.

Saat ia menemukan sebuah buku, ia lalu duduk berleseh di pinggir jalan, membolak-balik halaman-halamannya. Ia menyadari aroma kertas berbeda dengan aroma plastik, sekalipun sudah ternoda oleh aroma busuk dari sampah-sampah lain.

Ada aroma khas yang, ketika ia menghirupnya dalam-dalam, merembes masuk hingga ke hatinya. Menghangatkan kebekuan yang biasa ia rasakan. Ia mengingat ilustrasi indah beberapa saat lalu, adakah buku itu mengisahkan tentang surga yang diselimuti benda serupa awan yang terserak di permukaan tanah itu?

Lihat selengkapnya