Kau Berkata

Dewinda
Chapter #14

14

Siapa sangka proses membeli makanan bisa begitu panjang? Isarat berjalan buru-buru hingga ke rumahnya. Begitu sampai lagi ke rumahnya, Isarat meletakkan bungkus makanannya asal saja di lantai lalu ke dapur mengambil piring. Kembali dari dapur, ia mendapati Kevia telah berhasil menyusul dan tengah melipat tangan di dada. Dengan mata menyipit dan wajah masam.

Isarat membeku. Dia paham gurat-gurat wajah itu. Itulah orang yang tengah kesal atau marah. Tanpa sadar, piring plastik di tangannya diletakkannya di depan dada, seakan-akan ia menjadi tameng untuk melawan lawannya.

Kevia memutarkan bola matanya lalu mengambil kertas. Ia menulis lambat, tetapi setiap garis yang ia goreskan ditekan begitu dalam. "Tidak sopan."

Isarat mencoba membacanya, walaupun ia kebingungan. Apa itu sopan? Sampai-sampai ia menggarisbawahi kata itu dan memberikan tanda tanya di belakangnya. Mata wanita itu membulat ketika Isarat melakukannya dan wajahnya pun melunak.

"Ah, bagaimana menjelaskannya, ya," gumam Kevia, lamat-lamat, karena Isarat toh tidak akan mendengarnya. Ia memutar otak, hingga matanya sendiri pun terputar. Dari bawah lantai hingga ke atas langit-langit. Dan Isarat mengikuti gerak matanya, berpikir mungkin dia mencari sesuatu.

Kevia menepukkan kedua telapak tangannya. Ia menulis lagi, "Sopan." Wanita itu lantas mengulurkan tangan. Isarat tahu yang baik adalah menyambutnya. Usai berjabat tangan dan melepaskannya, Kevia menunjuk kata itu. Ia menunduk sekilas dan, sekalipun dengan mulut ternganga, Isarat pun mengikuti. Kembali Kevia menunjuk kata itu seusai prosesi bungkuk-membungkuk itu.

Terakhir, ia tersenyum sambil menggerak-gerakkan mulut kepada Isarat. Menunjuk antara dirinya dan Isarat bolak-balik sambil terus menunjukkan gestur yang sama di wajahnya. Setelahnya, ia menunjuk pada kata 'sopan' lagi.

Isarat membulatkan bibirnya dan menggangguk-angguk pelan. Senang karena pesannya terbalas, Kevia mengacungkan dua jempol kepada Isarat dengan senyum lebar yang tiba-tiba membuat debar jantung Isarat bertambah kencang. Pria itu mengabaikan sensasi aneh yang dirasakannya dan balas tersenyum.

"Nah, sekarang makan," ujar Kevia sambil menulis kata 'makan'.

Selagi Isarat makan, Kevia memeriksa kertas-kertas. Di atasnya, tergurat banyak garis-garis, lengkung yang tidak stabil, seakan seseorang yang baru saja menulis di tengah gempa. Wanita muda itu membalik-baliknya cepat, seperti permainan flip-o-rama. Kertas-kertas itu jatuh dengan cepat hingga membuat ilusi mereka bagai menyatu.

Bagai animasi pun, garis-garis itu seakan bergerak membetulkan diri. Dari gurat-gurat gemetar tak teratur, ia menjadi semakin halus, semakin lurus. Sebagaimana cacing yang tengah bergelut di tanah, kemudian merambat ke atas menjadi lurus.

Tanpa sadar, ia tersenyum.

Isarat mengangkat wajahnya. Sesaat ia terpaku mengamati gerak itu, gerak Kevia, gerak kertas-kertas dan efek ilusi mata yang ditimbulkannya, tapi tertangkap olehnya tatapan mata Kevia yang tidak menyenangkan, lantas ia meneruskan makan. Hingga tandas kertas nasi itu, bersih seperti sebelum terpakai. Barulah Kevia tersenyum lagi seperti biasa.

Usai makan, mereka duduk berhadap-hadapan. Kevia dengan tangan terlipat di dada. Di antara mereka, terbaring selembar kertas bertuliskan satu kalimat saja, “Kenapa tidak makan?”

Isarat menggeleng takut-takut. Baru kali ini, Kevia tampak sedikit mengerikan.

Wanita itu mengetuk-ngetukkan jarinya tak sabar. Lalu, menunjuk kata yang telah ditulisnya, ganti mengetuk-ngetuk kertas. Dia lantas menggariskan lagi tanda tanya beberapa kali. Pria itu mengangkat plastik. Isinya; pensil, pena, spidol berbagai warna.

Lihat selengkapnya