Kau Berkata

Dewinda
Chapter #15

15

Kevia ternganga ketika Isarat menunjukkan wajah masam. Baru kali ini, pria itu menunjukkan perlawanan kepadanya. Ia merapatkan bibirnya, lantas mengamati pria yang kini memainkan ujung bajunya. Kevia mengetuk-ngetukkan jari di lengannya sendiri selagi ia berpikir.

Lantas, wanita muda itu mengambil salah satu spidol yang ditunjukkan Isarat lalu menggoreskannya di kertas. Lalu, mengambil pena dan pensil, menggoreskannya, membentuk sebuah kata yang sama. Kevia membuang kertas yang digurat oleh spidol baru itu dan menyembunyikan pengguratnya lalu menulis beberapa kata lagi.

“Bisa dipakai menulis?” Kevia menunjukkan tulisannya dan mengangkat satu per satu alat tulis dengan jenis berbeda-beda itu. Masing-masing dijawab Isarat dengan anggukan. Ia menyembunyikan semua peralatan menulisnya dan hanya menyisakan satu pena. Menulis lagi, "Bisa menulis?"

Isarat mengangkat alis ke arahnya. Lamat-lamat, dia mengangguk.

Dan barulah ia menjelaskan dalam tulisannya. "Tidak butuh." Dan ia menggarisbawahinya tiga kali. Isarat mulai paham. Kecuali ukurannya, warna, dan hasil guratnya, spidol itu berfungsi sama dengan alat tulisnya yang lain, jadi bisa diambil kesimpulan bahwa ia tidak membutuhkan yang lainnya. Walaupun begitu, ia merengut sedikit saat menggelengkan kepala.

“Harus ditabung.”

“Apa itu?”

Kevia menunjukkan celengan, memasukkan sebuah koin ke dalamnya. “M-E-N-A-B-U-N-G.” Lalu, menambahkan, “Tidak boleh diambil.” Isarat cemberut, memainkan ujung bajunya lagi. Bagaimanapun, ia mengangguk patuh, membuat Kevia tersenyum puas.

Mulai hari itu, Isarat mulai belajar untuk mengatur uang. Sisa uang yang sekiranya tidak dipakai makan, ia sisihkan dalam celengan berbentuk kotak itu. Seperti kata Kevia, ia tidak mengambilnya. Membiarkannya membisu di dalam. Ketika salah satu penanya tidak lagi menunjukkan goresannya, melainkan hanya membentuk garis transparan di atas kertas, itu pun hanya karena tekanan yang membuat cekung permukaan kertas, barulah Kevia menunjukkan celengan itu dan mengambilnya dalam jumlah yang pas untuk membeli pena.

“Butuh,” tulis Kevia lagi. Isarat akhirnya mengenali konsep kebutuhan sebagai sesuatu yang lebih mendesak daripada keinginannya melihat warna-warna di dunia. Seperti, kalau ia lapar, ia akan butuh makan. Karena tanpa makan, ia akan menjadi sakit.

Selanjutnya, Kevia mengajarkan pula bagaimana bersenang-senang dengan sedikit uang dari celengan. Seperti membeli kartu. Ia contohkan yang murah-murah, ia ajarkan konsep harga pula. Kartu itu berharga murah dan bisa dimainkannya, membuat perasaannya senang (ia tahu sekarang istilah untuk perasaan berbunga-bunga yang membuatnya seakan mengawang itu). Karena pertimbangan itu, bolehlah ia sesekali mengeluarkan uangnya.

Tentu saja, Kevia selalu menambahkan catatan, 'asal yang butuh sudah ada'.

Sejak mengenal kata-kata, Isarat menyadari betapa warna-warni dunia sangat beragam, kadang terlalu banyak. Ia mengenali kerutan-kerutan di muka tidak hanya marah, senang, atau takut. Ada rasa antusias, ada rasa puas, ada rasa cemas, yang sedikit berbeda dengan takut. Dan lainnya. Dan lainnya.

Lihat selengkapnya