Sekalipun Isarat menulis dengan panik, hendak menjelaskan betapa kotor sampah-sampah itu, Kevia memberikan isyarat menenangkan. Mengabaikan Isarat yang masih menunjuk-nunjuk kata yang tertulis di bukunya, ia mulai memisahkan daun-daun yang menempel dari botol atau gelas plastik.
Dan, untuk kali pertama, ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada bahu wanita itu. Ketika wajah Kevia terangkat, Isarat melafalkan namanya dengan bibirnya. Kata pertama yang diajarkan wanita berjilbab itu kepadanya.
Kevia menatap gerakan mulut pria bisu itu dengan tatapan terkesima. Perlahan, senyumnya terkembang. Ia mengacungkan jempol ke arah Isarat. "Ah, ya, itulah namaku," sahutnya, walaupun ia tahu suara itu tak akan pernah sampai di telinga Isarat.
Berusaha mengurangi kepanikan Isarat, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Menunjuk-nunjuk pada ruang kosong di depannya. Dan mengangkat dua sampah yang tengah dipegang.
Pria itu mengernyit, menatap sampah di tangan Kevia, menatap sampah yang bertebaran. Ia tahu tak akan bisa menang melawan gadis itu, maka ia duduk meleseh di atas tanah. Wanita di hadapannya tersentak kaget dan menyambar tempat duduk yang ia pakai. Isarat menolak tegas dengan mendelikkan matanya.
Tertawa, Kevia menurut kali ini.
Selama beberapa saat, keduanya lantas menyibukkan diri dengan memilah-milah sampah kering dan sampah basah. Kevia mencucinya dan Isaratlah yang akan meremukkannya. Salah satu sampah yang tergabung di dalam karung Isarat adalah tali rafia. Kevia mengamatinya. Sesaat kemudian, ia masuk ke dalam rumah. Begitu keluar lagi, ia telah mengalungkan buku catatan kecil yang diikatkan dengan tali rafia.
Tersenyum lebar, Kevia menunjukkannya pada Isarat. Pria itu tertawa, tapi mengangguk-angguk menandai persetujuannya. Ia duduk lagi, tapi tak segera kembali berkutat dengan sampah. Sebaliknya, ia menggoreskan pena yang sebelumnya dikaitkan saja pada buku catatan itu.
“Organik,” katanya, sembari menunjuk kepada salah satu tulisannya lalu menunjuk ke arah tumpukan sampah dedaunan, kertas-kertas, makanan busuk.
“Anorganik,” kata tulisan yang di sampingnya. Kali ini, telunjuk Kevia berpindah ke sampah-sampah plastik.
“Apa itu?” Isarat menyatakan kebingungannya dengan sorot matanya.
“Organik itu mudah hancur. Anorganik tidak mudah hancur.” Semua yang ditulis lalu dilafalkan dengan mulutnya. Isarat menyadari itu, maka matanya berpindah-pindah antara tulisan di buku, bibir Kevia yang mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, dan sampah-sampah yang menjadi sasaran pembicaraan mereka.