Kau Berkata

Dewinda
Chapter #17

17

Pria itu memang tidak ada urusan dengannya. Dia bisa menyimpulkannya dari gerak-geriknya. Tatapan murkanya langsung saja mengarah pada Kevia. Mulutnya bergerak begitu cepat, hingga tak satu pun yang bisa ditangkap Isarat maknanya. Tapi, ia jelas hendak menyakiti Kevia.

Tangan wanita itu ditarik keras, dan Kevia balas melotot ke arahnya. Isarat tanpa sadar bergerak untuk melindungi Kevia, menarik tangan yang mencoba menggapai tangan wanita itu lagi. Pria tambun dan tinggi itu kaget dan membentak. Tentulah membentak, dengan mimik dan bentuk mulutnya itu.

Isarat menangkap sedikit, “Diam! Bukan … mu!” Dia lalu mendorong Isarat. Pria muda kurus yang jelas-jelas kalah jumlah lemaknya itu, kaget bukan kepalang. Pria muda yang sedari tadi hanya mengekor kini beranjak ke arah Isarat. Mendorongnya mundur. Gesturnya agak kasar, maka ketakutan mulai menguasainya.

Namun, rasa penasaran yang luar biasa membuatnya memberanikan diri untuk mengamati. Dari gerak bibir Kevia, “Pak!” (atau “Pa”? Atau “Kak”?) Aku…” Bibir Kevia kini bergerak begitu cepat, tak terikuti oleh pikirannya. Tapi, ia menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Isarat.

“… teman!” Isarat ingat Kevia pernah mengajarinya kata teman. Ya, mereka teman! Di tengah ketakutan, ada perasaan bangga dan senang menyelimutinya.

“… laki-laki … kotor! … dua saja!” Apa ia bicara tentang KB, program pemerintah yang pernah ia baca pamfletnya, apa pun artinya itu? Dua saja cukup? Isarat berusaha mengikuti pembicaraan mereka. Tanpa sadar, ia sudah menelengkan kepalanya ke kiri. Menyipitkan mata, menatap gerak mulut keduanya.

Kevia menghentak-hentakkan tangannya tak sabar. “… di luar … tetangga ....” Dan Isarat yakin Kevia menyebutkan kata “melihat” karena tangan wanita muda itu bergerak ke arah matanya pada saat yang sama.

Pria itu tampak mencoba menguasai kemarahannya. Menarik napas, ia lalu berkata dengan pelan. Kata-katanya sedikit-sedikit bisa ditangkap oleh Isarat. “… tidak baik,” ia menunjuk Isarat. “Bukan … kamu. … … … pulang. Pikir…,” lebih banyak lagi yang dikatakannya. Tapi, benar-benar hanya satu-satu yang tertangkap. Dan rasanya jadi tidak masuk akal dan Isarat tidak tahu apa maksudnya.

Namun, kelembutan itu jelas sekali mempengaruhi Kevia. Wanita muda itu menunduk, dengan wajah merasa bersalah. Matanya bergerak ke arah Isarat, yang tengah memperhatikan.

Kedua mata mereka bertemu. Isarat baru saja hendak bertanya dengan sepasang matanya, inderanya yang masih rajin itu, saat dilihatnya Kevia segera berpaling. Mimiknya menunjukkan kebingungan sekarang. Apa yang ada di pikiran Kevia? Isarat mencoba menebak-nebak, tapi gagal.

Tapi, ada sesuatu yang tumbuh dalam perasaannya yang mengganggu. Apa ini? Isarat bertanya kepada dirinya sendiri, tapi ia tidak menemukan jawaban. Perasaannya memberitahu sesuatu yang buruk tengah terjadi.

Perasaan itu semakin mencengkeramnya saat ia melihat Kevia tersenyum setengah hati ke arahnya. Ia tersenyum, tapi mimiknya berlainan. Muramkah itu? Sedih? Kecewa? Ia lalu menatap pria di hadapannya dan mengangguk.

Pria itu hanya menatap tajam ke arah Isarat, yang segera menunduk, tak berani menantangnya. Kevia melambaikan tangan, seperti yang ia biasa lakukan ketika akan pulang. Ya, biasa saja. Perasaannya yang bukan-bukan ini mungkin hanya merasa tidak enak dengan peristiwa yang baru terjadi.

Tidak apa-apa. Benar?

Jawabannya baru ditemui Isarat beberapa hari kemudian.

Lihat selengkapnya