Tanpa suara, ia tidak bisa memanggil wanita itu. Mengapa tiba-tiba begitu sunyi dunia ini? Ia terbiasa dengan kesunyian, tapi tidak yang seperti ini. Bahkan, tidak ada lagi suara-suara dari matanya yang memenuhi batinnya. Hanya gerak-gerak kosong tanpa makna.
Sunyi. Di tengah kesunyian yang biasa dirasakan, inilah sebenar-benar sunyi. Apa salahnya hingga Kevia berhenti mengunjunginya? Mungkin ketika ia datang lagi, ia akan bersihkan semua sampah di pekarangannya. Ia tidak akan memulung lagi, kalau dianggap terlalu kotor bagi orang-orang di sekitarnya.
Bukan Kevia. Kevia tidak pernah berpikir seperti itu. Ia duduk tenang di tengah semuanya. Bahkan, mau menyentuhnya seakan hal itu bagian dari dirinya. Ia mengingat canda gurau mereka. Ia ingat wajah Kevia saat bertemu ulat.
Air matanya meleleh. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia keluar begitu saja.
Kenapa dunia bisa sesunyi ini? Isarat menutup mata. Tenggelam dalam kesunyian baru.
***
Sementara itu, Kevia tengah berada di rumahnya. Seorang wanita yang bersanggul bulat tengah merajut-rajut tanpa kata. Seorang pria berjalan hilir-mudik di depan Kevia yang mendudukkan diri di sofa. Wajahnya memerah hingga ke kuping-kupingnya. Wanita yang tengah merajut sesekali berhenti untuk menatapnya, tapi hanya menghela napas dan melanjutkan pekerjaannya.
"Bapak nggak habis pikir, bisa-bisanya kamu begitu?"
"Aku nggak ngapa-ngapain, Pak. Bapak bisa lihat aku di halamannya, kan? Terbuka begitu, mana bisa macam-macam."
"Ada yang bilang kamu juga suka masuk ke dalam rumahnya."
Wajah Kevia memerah ketika pria itu mengatakan hal ini. Ia menggertakkan rahang dan mendelik kepada ayahnya sendiri. "Siapa yang bilang? Ada yang mengadu? Tukang gosip? Bapak menggosipkan anak sendiri?"
Kali ini, ayah Kevia yang balas mendelik. "Nggak sopan kamu!" bentaknya dengan suara menggelegar.
"Duh, Pak. Yang sabar."