Kau Berkata

Dewinda
Chapter #19

19

Isarat bangun oleh tepukan cepat di bahunya. Saat membuka mata, ia melihat kaki-kaki. Banyak kaki. Bukankah ia berada di rumahnya? Tidak ada kaki lain selain kakinya sendiri. Tidak pernah ada tangan yang menggamit kecuali desau angin yang masuk dari sela-sela ventilasi. Tentu, satu orang pernah menemaninya. Itu pun telah pergi, tak lagi terlihat biarpun bayangnya. Mengingatnya, pria itu memejamkan matanya lagi.

Mengapa kenangan selalu menyakitkan? Ketika ia berpikir bahwa hidupnya telah bertukar arah, semua kembali kacau. Dan, kembali, ia menyongsong kegelapan yang tak berujung. Di mana tidak seorang pun yang berjalan di sisinya. Mengapa ia terganggu? Bukankah ia telah menghadapinya hampir seumur hidupnya?

Pikirannya tak dibiarkan tenang. Ia merasakan badannya terguncang-guncang. Isarat mengernyit. Matanya membuka lagi, ingin melihat siapa orang yang berani-berani mengganggu. Matanya bergerak ke arah wajah orang yang tengah berlutut di dekatnya.

Seorang wanita dengan wajah oval berbingkai kain yang menyelubungi seluruh kepalanya. Hingga terjatuh kain itu kepada bahu, dada, hingga pinggangnya. Mata bulat dengan bola mata cokelat yang cerah, dengan bulu mata yang tebal dan rapat, alis mata yang juga hitam kelam. Bibirnya yang sedikit tipis berwarna merah muda yang cerah, yang kini tampak agak bergetar.

Kevia?

Mata wanita itu membulat sepenuhnya, tapi bukan karena marah, seperti biasanya. Sebaliknya, mata itu menyorot cemas dan berkilau lebih cemerlang daripada biasanya. Tampak air mata menggenang, yang hampir jatuh.

Ia tidak yakin. Mungkin salah lihat. Lalu, tangan itu menepuk lembut pipinya. Isarat menatapnya lamat-lamat. Wajah itu semakin jelas. Ia tertawa lemah, benar itu Kevia. Kevia yang ditunggunya. Teman yang sudah lama tidak datang. Satu minggu? Banyak hari setelahnya?

Tubuhnya terasa sangat lemas, ia tidak tahu kenapa. Ia tidak lapar, perasaan itu sudah lewat lama sekali, tapi ia tidak bisa menarik tenaga dari tubuhnya. Saat tubuhnya ditarik bangun, selongsong yang terasa kosong itu jatuh lagi, berdebam di atas kasur. Menerbangkan debu-debu yang menari-nari di tengah sinar matahari.

Kali ini, beberapa tangan terasa menyentuh tubuhnya. Mereka menarik lalu mengatur tubuhnya agar bersandar di dinding dengan beralaskan bantal. Isarat berhasil duduk setelah beberapa kali hampir tersungkur jatuh. Di depannya tampak makanan, berbagai rupa. Tapi, tidak menerbitkan nafsunya. Ia hanya menatapnya kosong. Sekalipun mau, dia tidak punya kekuatan untuk menggapainya.

Di sekelilingnya, orang-orang hanya berdiri menunggu reaksi pria itu. Hanya bisa menatap cemas kediamannya.

Sudah pernahkah Isarat memberitahumu kalau Kevia bukan orang yang penyabar? Ia tidak mau menunggu Isarat mengumpulkan kemauannya. Buru-buru, wanita itu mengambil piring dan sendok. Sendok itu diisinya sedikit, disorongkan ke bawah hidung pria lemas di sampingnya itu.

"Sedikit-sedikit, ya, biar perutmu nggak kaget," ucapnya, walaupun tahu kata-kata itu tidak terdengar oleh Isarat.

Aroma gurih makanan itu, bercampur dengan kuar hangat yang menyentuh cuping hidungnya, sedikit membangkitkan selera Isarat. Tapi, ia masih lemah. Maka, Kevia mendesaknya. “Buka,” katanya, menurut gerak bibir yang ditangkap Isarat. Bisa jadi kata lain, Isarat tidak lagi yakin.

Lihat selengkapnya