Isarat diperkenalkan kepada lelaki bernama Adzan. Penampilannya biasa saja, hanya suka sekali memakai peci putih dan baju putih yang ia kenal sebagai baju koko. Setelah kuat berjalan dan bergerak, Isarat membersihkan diri. Belum pernah Kevia memerintahkannya membersihkan diri sebanyak itu.
Pria disabilitas itu membawa sabun-sabun, shampoo, alat cukur baru, sampai cairan yang berbau sangat harum. Ia baru tahu itulah yang namanya parfum, aroma yang seringkali ia temui ketika berhadapan dengan pria-pria berkemeja dan wanita-wanita yang mengenakan blazer. Rasanya aneh karena ia terbiasa hanya dengan aroma sabun, itu pun ia pikir sudah cukup harum. Tapi, ia patuh. Ia tidak mau Kevia menghilang lagi. Cara yang bisa ia pikirkan adalah mematuhinya.
Setelah itu, ia diajak ke masjid. Ya, ia sering melewati tempat ini. Di tengah siang-siang yang panas, sering juga ia temukan orang banyak berkumpul, memakai pakaian yang rata-rata sama. Serupa dengan Adzan, yang kini duduk bersila di hadapannya ini.
Matanya menatap Isarat dengan curiga lagi kurang bersahabat, membuat Isarat tidak nyaman. Sementara, Kevia berbicara dengannya. Rona tidak sabar muncul di wajahnya. Ya, sejujurnya, itu sering sekali dilihat Isarat. Itulah Kevia. Tidak sabar dan keras kepala.
Isarat menangkap lagi kata “teman” dari mulut Kevia, membuat hatinya melambung lagi. “Ayolah …,” Kevia tampak seperti melafalkan namanya. Itu kata baru bagi Isarat, jadi ia tidak sepenuhnya yakin. “ … belajar ….” Belajar? Bukankah ia cukup banyak belajar di rumahnya? Bersama Kevia?
“ … bantu dia. Kamu teman ….” Isarat mengernyit. Oh, ya, teman Kevia tentu banyak. Tidak sepertinya, yang hanya mengenal Kevia. Yang hanya ingin berteman dengan Kevia.
Isarat masih mengamati baik-baik ketika Kevia berbicara. Tiba-tiba, ia merasa bahunya ditepuk. Pria bisu-tuli itu tersentak, mundur. Teman lain Kevia itu menunjukkan wajah tidak senang. Telunjuknya berulang kali mengarah pada wajah Isarat, kemudian diturunkannya. Pria itu mengernyit. Ia sempat mengikuti, tapi tidak ada apa pun di lantai, maka ia mendongak lagi.
Ketika ia melihat Isarat hanya menatapnya sambil menelengkan kepala, gerak dadanya menunjukkan ia tidak sabar. Tangannya lalu menangkap kepala Isarat lalu memaksanya menunduk ke lantai. Jadi, ia benar menyuruhnya menatap lantai. Tapi, kenapa? Tidak ada apa pun di sana.
"Tidak ada apa-apa di lantai." Akhirnya, Isarat menulis di buku catatannya. Membaca ini, Adzan ternganga. Ia lalu memejamkan mata sekilas dan akhirnya melengos.
Pria yang buta akan perilaku dunia itu menoleh bingung ke arah Kevia, yang memandangnya dengan geli. Kejenakaan itu muncul lagi di matanya. Ia lalu berbicara kepada Adzan, “ … belajar … bibir.” Telunjuknya mengarah ke bibirnya selagi sepasang kelopak merekah itu bergerak-gerak lembut. Mata wanita itu menyipit agak berbahaya ke arah Adzan.
Adzan mengangkat alis lalu mengangguk-angguk setengah hati, sementara matanya kuyu. Seperti orang malas, Isarat mengingat-ingat pelajaran ekspresi wajah dari Kevia. Dia pemalaskah? tanyanya dalam hati.
“Belajarlah dari dia. Dia temanku. Pemarah, tapi baik.” Setelah menuliskan itu kepada Isarat, matanya mendelik ke arah Adzan. Isarat mengetahui tatapan itu sebagai tatapan untuk menyuruh pria itu menuruti kata-katanya.
Isarat tertawa membaca catatan dari Kevia, tapi terdiam begitu melihat Adzan. Ia tampak kesal.