Perasaan baru yang menyeruak perlahan itu mengganggunya, tapi menetap di sana. Di dadanya itu. Ada satu hal yang pasti. Ketakutannya perlahan menghilang. Ia seringkali menatap Adzan, dalam hati mencoba mengolah perasaan baru itu.
Ia selalu tahu apa itu marah. Banyak kali ia memarahi anak-anak yang senang sekali menggoda dan mengganggunya. Isarat mengamati pria yang tengah menunjuk tulisan dan mengejanya perlahan. Berbeda. Perasaan kali ini begitu berbeda. Jantungnya berdebar begitu cepat, dan tak sudah-sudah. Ia menahannya, tapi hanya membuat tangannya gemetar.
Adzan mau tak mau memperhatikan. Ia lalu bertanya (dalam tulisan, tentunya), “Kenapa?”
Isarat menggeleng. Ia meneruskan menulis huruf-huruf latin pengganti aksara-aksara arab itu. Dia sudah beralih ke tanda baca serta tulisan sambungnya. Iqra … Qaalaa ….
“Al-laas,” tulis Isarat dalam huruf-huruf Latin.
Pria di hadapannya terdiam, bibirnya terkatup rapat, seakan menahan diri untuk berkata sesuatu. Mengherankan baginya karena toh ia tidak akan mendengar apa pun katanya. Lagi-lagi, wajah itu memerah, tatapannya semakin tajam, walaupun sengaja dialihkan kemana-mana.
Adzan mengembuskan napas kasar, ini pun tertangkap oleh Isarat. Pria berpeci putih itu lantas kembali menunjuk-nunjuk salah satu huruf hijaiyyah dengan satu titik di atas. Ia menunjuk titik itu lalu menunjuk bentuknya. Isarat diam saja, walaupun ia tahu gerak itu adalah isyarat untuknya menjawab.
Bahunya pun ditepuk keras. Adzan mengetuk-ngetukkan tangan ke buku, memintanya untuk berkonsentrasi pada pelajarannya. Isarat menggigit bibir bawahnya. Pikirannya terus membayangkan Kevia. Jangan sampai ia pergi lagi, maka pelajaran ini penting. Ia harus bertahan. Demi Kevia, demi Kevia.
Dia lantas perlahan menulis dan tulisannya sedikit bergelombang seperti ombak pantai. "At-taas."
Adzan hilang kesabaran. Ia membanting tongkat kecil yang dipegangnya. Tidak keras, hanya terpelanting sedikit di lantai lalu bergulir menjauh seakan hendak buru-buru kabur dari keduanya. Isarat mengernyit, memandangi tongkat kecil itu. Ingin sekali menjadi ia, kabur dari orang di sampingnya ini.
Pria itu tersentak sedikit ketika ia merasakan embus napas di kulit tangannya. Dan Adzan berdiri, menghampiri kalam ngaji itu. Berbalik, ia duduk dengan menghempaskan pantatnya. Menatap Isarat dengan tatapan tajam lalu menulis, "Salah. Coba ingat-ingat lagi."
Isarat tidak lagi takut. Malah, gerak-gerik Adzan menyulut bara di dadanya, sedikit demi sedikit semakin terik dan mendidih. Dia menggeleng cepat, balas menatap Adzan dengan kesal. Pria di sampingnya itu menyadari perubahan tatap Isarat, maka ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tulis Adzan, menyerah juga dia akhirnya, “An-naas. Artinya manusia.”