Tangan Adzan masih mencengkeram dagu Isarat, tetapi dengan cepat, Isarat menepis keras. Kembali menampar-nampar Adzan dengan serampangan. Begitu ia mengendurkan kecepatan tamparannya, Adzan mendorongnya kuat-kuat hingga pergumulan mereka terlepas. Ia melompat berdiri, sambil menjauh dari Isarat.
Buru-buru, Adzan merentangkan satu tangan sambil tangan lain menulis, “SUDAH!” Dia lalu meneriakkannya, membiarkan Isarat membaca gerak bibirnya. Dan kedua tangannya turut dihentakkannya ke depan sebagai isyarat untuk berhenti.
Melihat tulisan itu, kemudian berpindah ke Adzan yang tampak letih, Isarat mengendurkan sikap siaganya. Terengah-engah, pria muda itu terduduk di lantai masjid. Walaupun begitu, bola matanya masih saja sesekali tertarik ke ujungnya, dengan waspada mengawasi Adzan, tapi Adzan memang tak lagi melakukan apa pun.
Keduanya menarik napas, pergencatan senjata disepakati. Lama, Adzan berdiri, menarik-ulurkan napasnya, untuk menenangkan diri. Setelah merasa tenang, pria itu menghampiri Isarat, yang langsung menarik tubuhnya waspada. Namun, ternyata Adzan mengulurkan tangan. Isarat yang meragu malah memundurkan tubuhnya, tapi Adzan bersikeras. Ia ambil saja pergelangan tangan Isarat dan terasa tubuhnya ditarik bangun.
Tulis Adzan lagi, “Kenapa marah?”
Isarat merengut, cepat-cepat menulis hingga huruf-huruf itu menjadi cakar ayam, “Kamu bilang aku bodoh!”
Adzan mengernyit. Ia berusaha mencerna kata-kata yang tertulis. Kepalanya tiba-tiba meneleng ke samping. Dahinya bersih kembali dari kerut-kerut yang banyak. Dia lalu menepuk dahinya. Kepada Isarat, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Aku tidak tahu kau melihatku bicara. Aku tidak bilang “bodoh.”Aku bilang ‘bolot.’”
Isarat menggerakkan bibirnya, “Apa itu?”
Adzan meringis, merasa bersalah. Menyadari kata itu mungkin menyayat hati Isarat lebih tajam. “Artinya tidak bisa mendengar.”
Pria yang memang tuli itu mengerutkan dahi. Otaknya berputar keras, tapi tak menemukan jawaban. Benar-benar dia tak habis pikir. Melongo memandangi Adzan, ia menulis dengan huruf besar-besar, “YA, MEMANG!”
Tidak menyangka, Adzan mengangkat alis. Menatap Isarat dengan terpana. Ia lalu mendengus. Merapatkan bibir, berusaha menahan emosi yang meluap. Tapi, gagal. Ia tertawa. Semakin lama semakin lepas, terbahak.
Sekalipun Isarat mengenali gestur itu sebagai gestur ramah, ia jatuh lebih dalam pada kebingungan. Apa yang lucu? Dia tidak melawak atau sedang melempar lelucon. Dia diam terpaku, sementara Adzan tak berhenti-henti tertawa. Pelan-pelan, kemarahan terkikis dari dadanya. Pria berpeci putih itu lalu menggerakkan bibir baik-baik, “Maaf.”
Dia mengulurkan tangan lagi, mengajak bersalaman. Isarat tak paham. Kevia tidak pernah mengulurkan tangan seperti itu. Malah, mereka jarang sekali bersentuhan. Adzan menarik napas lalu menarik tangan kanan Isarat. Lalu, menggenggamnya, mengguncang-guncangkannya.