Sejak saat itu, Isarat kembali menyukai pelajarannya. Adzan ternyata memang pemarah dan tidak sabaran, hal itu tidak berubah. Tapi ia berusaha pelan-pelan untuk mengendalikan emosinya. Kadang ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata, terdiam untuk beberapa lama. Isarat mendiamkannya hingga ia kembali menjelaskan pelan-pelan.
Terkadang, ia begitu letih dengan ketidaksabarannya, maka ia meminta izin untuk berwudhu atau sekadar melemaskan kaki dengan berjalan-jalan di teras masjid. Sedangkan, Isarat akan segera memanfaatkan waktu bebas itu untuk bergolek-golek di lantai masjid yang dingin menyejukkan. Tentu saja, ia akan ditegur oleh Adzan, "Bukan tempat untuk tidur."
Namun, Isarat membantah dengan sederhana, ia menunjuk kepada pengurus masjid yang terlelap di sudut masjid dengan gerak napas yang teratur. Adzan hanya bisa memutarkan bola mata melihat Isarat tersenyum lebar penuh kemenangan.
Bagaimanapun, Isarat meluapkan rasa terima kasih kepadanya. Ia belajar lebih banyak dan berlatih lebih banyak ketika tidak di luar masjid. Menulis sebelum waktunya tidur, melafalkan huruf-huruf sembari berjalan mengumpulkan sampah-sampah. Dengan begini saja, ia menunjukkan kemajuan yang akan menuai puji dari Adzan.
Ternyata, senang sekali kalau kerja keras mendapat pujian. Interaksi dengan manusia ini ternyata menyenangkan. Ada masa-masa yang menyebalkan dan menyakitkan, tapi rasanya semua terbayar dengan perasaan-perasaan senang dan kepuasan yang tak terjelaskan.
Aksara-aksara Al-Qur’an yang meliuk-liuk itu pun ternyata indah tanpa pemaksaan di baliknya. Liukannya bergulir tenang seperti gelombang sungai, lebih luwes daripada huruf-huruf latin yang tercetak kaku.
Ia mengamati bagaimana huruf 'ha' halus bergelombang dari atas lalu menurun untuk menukik meruncing dan garis itu melengkung indah ke bawah. Bagaimana huruf 'kaf' dengan tegas menampung hamzah kecil seakan tengah melindunginya di sana. Bagaimana huruf 'lam' bersisian bersama hingga diselesaikan dengan garis yang turun melambai dari depan kembali ke belakang seperti lambaian tirainya ketika terkena angin dari jendela yang terbuka.
Dan Adzan melafalkannya dengan latin dan gerak bibir, "Allah."
Membaca ini, ingatan Isarat melayang kepada beberapa saat lalu, ketika Kevia akhirnya datang kembali. Dan dia menyebutkan kata itu. Ia ingat bertanya, tapi tak ingat mendapat jawabannya. Sebaliknya, Kevia hanya menatapnya, seakan baru mengenalinya, seutuhnya.
Isarat lalu bertanya. Pertanyaan yang sama dengan yang diajukannya kepada Kevia. "Apa itu Allah?"