Kau Berkata

Dewinda
Chapter #24

24

Desis keras dari Adzan menghentikan langkah Isarat. Ia mengernyit ke arah pria sebayanya itu. Melihatnya menggeleng, ia mengedikkan dagu dengan pandangan kebingungan. Bukannya menjawab, Adzan hanya mengibaskan tangan lalu menyuruhnya duduk lagi. Sekalipun heran, Isarat menurut.

Tak lama kemudian, Adzan mengambil wudu dan mulai salat. Beberapa melakukan hal yang sama, beberapa hanya duduk bersila, menunggu. Isarat mengamati satu per satu kegiatan di hadapannya.

Setiap kali ia menghabiskan waktu di masjid, kejadian ini selalu terjadi. Orang-orang ini akan salat sendiri-sendiri lalu salat bersama-sama. Kenapa tidak dari awal bersama, padahal sudah tingga di masjid dalam satu waktu? Ah, Isarat belum pernah menanyakannya.

Dia mencoba merangkai kata-kata yang ia tahu untuk menanyakan hal itu. Rasanya rumit. Salat. Ia tahu kata itu. Salat sendiri lalu bersama? Kenapa? Begitukah? Apa Adzan akan memahami pertanyaannya?

Yah, ia bisa mencoba. Isarat bertopang dagu, masih mengamati sekelilingnya.

Ia melihat Adzan telah menyelesaikan salat sendirinya. Begitupun dengan yang lain. Lantas, salah seorang yang tertua mengambil posisi di sebelah mimbar. Lalu, seorang pemuda mulai berperilaku seperti Adzan, tetapi, kalau Adzan berdiri berlama-lama, sebentar saja dia sudah menyelesaikan seruannya.

Satu per satu, orang-orang bangkit, kemudian berbaris rapat-rapat. Kaki mereka dikangkangkan, hingga tumit menyentuh tumit yang lain. Siku bertemu siku. Tidak sedikit pun ruang di antara mereka yang diperbolehkan masuk. Isarat memandangi mereka, di antara baris itu, ia tidak pernah diundang masuk. Kalau ia menurut, apa yang akan terjadi?

"Allaahu akbar," sahut sang Imam, pelan saja karena telah ada mikrofon yang diatur cukup dekat dengannya. Gemanya memantul ke sudut-sudut masjid. Isarat tidak bereaksi, masih menatap salah satu jemaah yang berdiri. Sesaat kemudian, barulah raut wajahnya berubah.

Pemandangan yang paling ia sukai pun terbit. Baris lurus manusia-manusia yang mengangkat tangan berbarengan. Ia bisa memandanginya berlama-lama, indah sekali kalau manusia bisa berdampingan damai begitu.

Pada saat begini, tidak ada perseteruan, tidak ada perselisihan, semua mengikuti Imam. Lalu, mereka menyelaraskan gerakan mereka dengan yang sebelahnya. Berikutnya, dengan yang sebelahnya lagi. Begitu seterusnya hingga gerak seirama itu tak putus.

Isarat menelengkan kepalanya selagi jemaah berdiri diam. Bisu, matanya pun terasa sunyi.

Menghela napas, ia mengalihkan pandangan pada sekat kayu tinggi yang berukir-ukir. Di antara ukir-ukir itu, ada lubang-lubang. Dari sana, ia melihat wanita-wanita berjubah kebanyakan putih, memang ada juga yang jubahnya berwarna lain, juga berdiri rapat-rapat. Memang samar dan kabur, tapi ia bisa menangkap sekilas gerak-gerik mereka.

Ia memperhatikan. Selalu, pria dan wanita dipisahkan oleh sekat kayu itu. Itukah kenapa Kevia tak lagi menjumpainya? Karena agama memisahkan mereka? Terbersit di pikirannya lagi, siapa Allah SWT yang menjadi pencipta makhluk hidup ini dan kenapa Ia gemar sekali memisahkan pria dan wanita? Bukankah Dia yang menciptakan keduanya?

Lihat selengkapnya