Kau Berkata

Dewinda
Chapter #25

25

Isarat menyeka keningnya. Seberkas hitam bergerak memanjang di keningnya. Membekas di sana. Dia sendiri tidak sadar dan kotoran itu tertinggal begitu saja di tempatnya. Peluh berkilau, memantulkan terik sinar matahari, membuat keningnya mengilap.

Mengangkat tangannya, ia mengamati matahari. Sepasang matanya secara refleks menyipit. Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. Lumayan, ada sedikit angin yang menyejukkan. Ia menoleh berkeliling. Ketika matanya tak menangkap satu pun pohon rimbun di dekatnya, wajahnya berubah muram.

Dengan gontai, ia melangkah maju lagi. Membetulkan letak karung di bahunya, ia menggetarkan pita suaranya, mendengung di dalam kepalanya.

Tak lama berjalan, ia melihat sebuah gelas plastik di sudut lalu membungkuk untuk mengambilnya. Ia tersentak. Pria itu meringis dan mengerang tanpa suara. Segera saja ia menegakkan punggungnya lagi. Menekan tengah punggungnya, ia menggeliatkan tubuhnya.

Sakit sekali. Dia berpikir apa yang kira-kira membuat punggungnya sesakit itu.

Pikirannya bergulir lagi ke aktivitasnya di rumah. Ia biasa memompa memang, tapi tak pernah membuat punggungnya terasa sekaku ini. Bahkan, kalau ia harus mengangkat air seember penuh bolak-balik.

Jadi, tentulah karena berjam-jam menulis tanpa meja. Menungging dalam waktu lama. Punggungnya akan membengkok begitu rupa dan ia biasa melakukannya hingga berjam-jam tanpa bergerak. Ia biasa membungkuk-bungkuk ketika memulung sampah, tapi tak pernah diam lama pada satu kesempatan.

Ia meregangkan tubuhnya demi membuat otot-otot itu tertarik, berharap sakit di punggungnya lenyap. Sudah lama sekali rasanya ia berkeliling mencari-cari sampah, tapi posisi matahari tampaknya belum begitu banyak berubah dari ketika ia baru keluar dari rumahnya.

Menghela napas, ia membayangkan untai kata-kata yang bisa ia hasilkan kalau ia di rumah sekarang ini. Memulung sampah tidak lagi menyenangkan. Sebelumnya, ia menikmati jalan-jalan santai itu sambil menyerap semua pemandangan di sekitarnya.

Sekarang? Yang ia pikirkan hanya pulang. Sebuah mobil mengepulkan asap putih putih keabuan yang tebal, yang jelas tidak akan lolos uji emisi di mana pun. Mendecak kesal, ia mengibaskan tangan cepat untuk mengusir asap yang menyelubunginya.

Ia buru-buru melanjutkan perjalanannya dan langsung berbelok begitu ia melihat gang. Ya, ampun. Kenapa bisa-bisanya ia jadi tak tahan asap begini? Mereka telah menjadi kawan setianya selama ia memulung sampah. Artinya, sudah belasan tahun lamanya.

Setelah masuk agak ke dalam, ia melihat beberapa pria, satu seorang tua, diapit dia yang berusia muda. Berpeci bulat putih, berbaju koko putih, seorang di antaranya memilih cokelat tua. Yang tua memakai sarung kotak-kotak. Mereka mau salat, Isarat menyimpulkan.

Ia berhenti berjalan. Matanya terpaku kepada mereka. Mengingat pula baris-baris orang di masjid dengan gerak berbareng.

Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak. Mengikuti mereka. Ketika sampai di masjid, ditaruhnya bungkusan karung berisi sampah di tepi dinding luar tempat berwudu. Ia melepaskan sandal jepitnya.

Lihat selengkapnya