Ada satu papan yang selalu menarik perhatian Isarat. Matanya selalu tertuju ke arah papan itu. Garis tebalnya terang dan mengilap. Setiap kali ada yang melewatinya, bayangannya akan terbentuk, memberi aksen-aksen gelap di antara terangnya, yang memukau.
Tulisannya dibentuk dari aksara-aksara Arab, diindah-indahkan dengan liukan yang dilebih-lebihkan. Ujung yang dibelok-belokkan seakan ia menari. Dan tintanya, entah asli atau bukan, dipoles dengan emas yang berkilau.
Itulah Allah SWT yang ia bisa lihat sejauh ini.
Hari ini sepi. Biasanya, hari Sabtu dan Minggu adalah waktu-waktu dimana masjid ramai, tapi satu hari ini, masjid sepi. Pengurusnya telah usai membersihkan masjid, kemudian tertidur di teras. Isarat, yang baru saja datang, melewatinya untuk masuk ke dalam masjid.
Pertama-tama, ia duduk-duduk bersila, menunggu kedatangan Adzan. Mungkin ia terlalu cepat datang, memang ia terburu-buru, rasanya ingin sekali cepat-cepat melanjutkan pembahasan terakhir mereka. Tentang Allah SWT dan syarat-syarat-Nya terhadap manusia, dan bagaimana cara ia melaksanakannya. Adzan berjanji untuk mengajarkan semua.
Keheningan di sekitar membuatnya menguap. Matanya mulai berat. Ia melihat ke sekeliling dan, pada saat itulah, ia melihat tulisan kaligrafi besar yang dibingkai dalam pigura emas. Kakinya terangkat satu, kemudian yang lain. Ia segera beranjak mendekati Sang Khalik dalam pigura itu.
Dan dalam kesendiriannya, ia bercengkerama dengan pikiran-pikirannya. Ia berdiri di depan label Allaah SWT besar di samping kanan mimbar. Di sebelah lain mimbar itu, Adzan pernah bercerita, itulah nama kekasih Allaah SWT, manusia yang paling mulia yang pernah menginjak bumi, yaitu Rasulullaah SAW.
Isarat memandang nama Allah SWT dengan rasa ingin tahu yang menjadi-jadi. Mungkin nama itu diukir di sana, menjadi pengganti Allah SWT yang tak pernah kelihatan. Mungkinkah ia bisa mengajaknya berbicara, sebagai ganti Allah SWT yang sesungguhnya?
Mungkin kau bingung mengapa Isarat tiba-tiba saja tertarik oleh Allah SWT dan agama-Nya. Memang indah sekali kalau kau berpikir bahwa Allah SWT telah menyentuh hati Isarat dengan keagungan-Nya. Sayangnya, kali ini tidak. Mungkin juga, belum.
Isarat memahami satu hal. Bagaimana orang-orang yang dekat dan lekat dengan masjid begitu mengagungkan Allah SWT. Tulisan-tulisan-Nya, bahasa-bahasa-Nya, aturan-aturan-Nya. Tentu saja, Kevia berada di antara mereka.
Pria itu paham sekarang, untuk mendekati Kevia, ia perlu mengenal Allah SWT, yang selalu menjadi pedoman Kevia berbuat, berkehendak. Mungkin juga, Dialah alasan Kevia mendekatinya sejak awal. Ia merenungkan ini semakin banyak setelah kicau Adzan tentang kewajiban manusia terhadap sesama, kewajiban yang juga akan mendapat rida Allah SWT. Dan semakin lama, ia semakin yakin dengan kesimpulannya sendiri.
Bagi Kevia, ia adalah burung dengan sayap patah.
Bagi Kevia, ia adalah anjing dengan kaki terluka.
Bagi Kevia, ia adalah makhluk mengibakan yang harus ditolongnya, menurut pada ajaran agama.