Ada yang menarik dari cara Kevia menulis. Sekalipun Isarat selalu menemukan titik pada "i" hanya sebuah, Kevia selalu memberikan dua titik di atasnya. Ketika Isarat bertanya kenapa, wanita sebayanya itu menjawab sederhana, 'kasian dia sendirian'. Dan Isarat akan berkelakar, berarti "t" juga dibariskan dua kali?
Kevia akan tersenyum. Ya, makanya ia suka berguyon dengannya. Senyum yang terbit itu menghangatkan hatinya dan menyenangkan.
Air dingin mengguyur tubuhnya. Apa ia telah mati? Dan menemui sisi lain dari kematian? Kalau iya, betapa mirip dunia ini dengan dunia di baliknya. Karena wajah Adzan, yang begitu ia kenal, muncul di pelupuk matanya.
Dan bibir pria itu menggumamkan namanya. Apa benar? Ia tidak tahu, bayangannya kabur. Tubuhnya terasa terangkat, terpaksa ia berdiri di atas kaki sendiri. Sudah terlalu lemah, hingga tubuhnya terayun lemah. Terasa tepukan di lengan atasnya yang terdekap. Jalannya terhuyung, tapi pegangan itu menopang.
Perih mulai menjalar di lengannya yang terbakar. Berdenyut-denyut seakan tangannya punya kehidupan sendiri, seakan punya jantung di luar jantungnya sendiri. Perih itu semakin meremas, hingga ia makin lemas. Dia tidak lagi punya kemauan untuk menyadari sekitarnya. Ia membiarkan tubuhnya terayun, terdorong, terangkat, tergerak bukan atas semaunya.
Imaji-imaji sekitar hanya tampak bagaikan bayangan sekilas, yang semu, yang segera menghilang. Menghilang di balik kesadarannya yang juga semakin menjauh, hingga tangannya, tubuhnya tak mampu menggapai lagi.
Berapa lama waktu berlalu, ia pun tak tahu lagi.
Yang ia tahu, kesadarannya pelan-pelan mulai terang kembali. Isarat kesilauan oleh sorot lampu yang terang, tepat di atas kepalanya, yang langsung menusuk retina matanya. Mengerang, ia memejamkan mata rapat-rapat, lalu memalingkan wajah, jauh-jauh dari lampu yang menyiksa itu.
Setelah ia yakin ia berada jauh darinya, ia mulai membuka mata perlahan. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan di mana ia tengah terbaring lemah. Ia berada di tengah-tengah ruang berbentuk kotak yang kecil, dengan warna serba putih. Termasuk, pakaian pria yang tengah membalut tangannya. Nyerinya mulai terasa, membuatnya ingin berjengit dan meringis, walau tidak ada lagi api.
Menemaninya, Adzan menatapnya dengan khawatir. Isarat menatapnya. Tidak pada wajahnya, melainkan peci bulat putih yang ada di atas kepalanya. Ia lalu menunduk lagi.
Isarat tidak mengangkat wajahnya selama berada di ruang periksa dokter itu, tapi ia bisa melihat dari sudut matanya, Adzan mengurus semua. Ia tampak berbincang dengan dokter, menerima selembar kertas yang ia duga berisi jenis-jenis obat yang harus ia minum. Dokter itu menunjuk salah satu tulisan di atas kertas, mulutnya tak berhenti bergerak.
Pria berkacamata yang masih tampak muda itu menolehkan wajah ke arahnya. Isarat segera membuang muka. Gerakan dokter yang mengulurkan tangan ke arahnya, kemudian membuat ia mencoba menatapnya. Selembar kertas terangkat di atas wajahnya, “Bagaimana perasaanmu?” itulah tulisan yang dia goreskan dengan rapi.
Isarat mengangguk.
Dokter itu menatapnya lurus, tapi ia mengabaikan. Maka, sang Dokter menuliskan pertanyaan lain, “Ada lagi yang sakit?”
Isarat menggeleng.