Kau Berkata

Dewinda
Chapter #30

30

Keduanya berbicara tanpa kata. Kevia mengulurkan piring plastik ke arah Isarat. Isarat menerimanya dengan anggukan. Lalu, mereka menikmati makan malam mereka, yang dibawakan oleh Kevia. Hanya nasi rames sederhana, tapi begitu nikmat, dengan kelegaan di hati masing-masing.

Mereka tidak memerlukan kata. Kevia hanya akan menatap Isarat sekilas lalu pria itu akan mengerti. Sekali ia mengangguk, kemudian menggeleng. Aku pernah mengatakan padamu bagaimana kesunyian bisa begitu berisik di mata Isarat. Namun, malam ini, ia memperoleh kesunyian yang benar-benar tenang. Tanpa delik curiga atau iba. Tanpa hingar-bingar cahaya tak sabar atau langkah kaki buru-buru.

Seperti halnya malam-malam sebelumnya, Isarat lanjut menulis. Ia menulis apa saja, semua yang ada di pikirannya. Semua imaji-imaji dan memori yang bertumpuk-tumpuk memenuhi ruang kepalanya.

Apa yang terjadi hari ini?

Tidak tahu. Aku hanya menunggu di masjid. Menunggui Adzan. Dia mungkin mengalami sesuatu di jalan, hingga ia datang tidak di waktu biasanya. Jadi, aku melihat Masjid. Melihat isinya. Ada huruf Arab besar berwarna emas. Adzan pernah bilang, huruf itu dibaca Allah SWT.

Aku berjalan-jalan berputar di tempat dengan segala yang indah itu. Aku tidak sadar ada kotak itu di dekatku dan aku menabraknya. Kotak Amal untuk Masjid. Begitu tulisnya. Tiba-tiba saja pengurus masjid mengamuk. Entahlah kenapa. Dan orang-orang berdatangan, mereka pun murka padaku. Aku tidak perlu mendengar suara mereka. Aku lihat dari muka mereka. Muka-muka yang berkerut-kerut itu.

Mereka marah padaku. Kenapa? Mungkin karena aku menjatuhkan kotak kaca itu. Mereka mulai memukul dan menendang. Sakit sekali rasanya dipukul. Aku tidak suka. Makanya, aku lari. Ternyata, itu membuat mereka mengejarku. 

Lalu, ada yang menyiram bensin kepadaku. Bensin itu harusnya untuk motor atau mobil. Tapi, malah disiram ke tubuhku. Tiba-tiba saja, tanganku sudah terbakar. Anehnya, aku tidak sakit. Tapi, setelahnya, sakit sekali.

Aneh sekali. Biasanya api di kompor untuk memasak. Atau di lilin kalau listrik padam. Tapi, ini di tanganku. Sekarang, baru tanganku terasa sakit. Seperti kulitku berkata “nyut-nyut” setiap saat.

Isarat menyerahkan catatan itu kepada Kevia. Wanita muda itu membacanya. Lama. Apakah ia telah membuat kalimat yang sulit dipahami? Saat ia menatap wajah wanita itu, ia melihat setitik air mata jatuh ke pipinya. Pria itu panik. Apakah catatan itu menyakiti hati Kevia?

“Maaf,” tulisnya cepat-cepat. “Apa aku salah bicara?”

Kevia menggeleng. Tulisnya, “Bukan itu. Aku sedih kamu terluka.”

Isarat menggeleng buru-buru. Ia mengibas-ngibaskan tangannya yang bersih dari perban. Menunjuk tangannya yang sakit, ia lalu mengacungkan jempolnya. Senyum lebar menghias wajahnya. Kevia tertawa sekilas.

“Kamu hebat,” bibir Kevia yang bergerak, sedang tangannya diam.

Isarat mengernyit. Ia menuliskan kata yang ia tangkap, untuk memastikannya benar. Tidak mungkin Kevia memujinya. Dalam hal apa ia berlaku hebat? Ia selalu melakukan kesalahan. Bahkan, ketika berjalan-jalan di area masjid saja, ia harus menabrak sesuatu.

Tapi, Kevia mengangguk, mengamini kata yang ditulisnya.

Isarat tertawa, entah kenapa merasa lucu. Baru kali ini ada orang yang memujinya. Dia menunjuk dirinya, dengan balasan anggukan dari Kevia. Dia menggeleng-geleng, sekalipun merasa senang.

Lihat selengkapnya