Alarm berdering terus menerus mengusik tidur lelapku, perlahan ku buka mata, ku raih ponselku dan mematikannya. Sejenak aku terdiam, menoleh ke sisi tempat tidur yang kosong.
“Kamu sudah bangun, Sayang.”
Mas Arga mendekat ke arah tempat tidur, sambil menggosok rambutnya yang basah. Sepertinya dia baru selesai mandi, ku lirik layar ponselku untuk melihat jam, rupanya hari masih dini, masih pukul 03.30. Jujur aku mulai curiga dengan gelagatnya akhir-akhir ini. Mas Arga sering meninggalkan kamar setiap malam, diapun sering menjauh dariku ketika mengangkat telefon dari seseorang yang sepertinya tak ingin aku tahu. Walau begitu aku mencoba bersabar dan hanya bisa berpura-pura tak mau tahu dengan urusannya. Walaupun aku merasa penasaran apa yang ia sembunyikan, aku tak berani untuk bertanya, karena terakhir kali aku bertanya Mas Arga marah besar dan mendiamkanku hingga beberapa hari. Dengan perasaan sedih aku mencoba bersabar dan membujuknya agar memaafkanku yang aku sendiri tak tahu di mana letak kesalahanku. Aku tidak mau kalau Mas Arga terus bersikap dingin, jelas hal ini bisa mengancam pernikahan kami.
Aku menyibukkan diri di dapur setiap pagi seperti biasa. Walaupun hari masih begitu dini, aku tetap menyiapkan sarapan suami dan putra-putriku yang masing-masing sarapan dengan menu berbeda. Setelah ku hidangkan semua sarapan untuk mereka, ku tutup agar makanan tetap hangat, kemudian akupun membereskan rumah yang sebenarnya tak begitu kotor ataupun berantakan.
“Bangunkan aku pukul 06.00, jangan sampai telat.” Mas Arga menghampiriku, mencium keningku dan hendak pergi ke kamar.
“Tanggung, Mas. Sebentar lagi subuh, lebih baik solat dulu baru setelah itu kamu tidur.”
Mas Arga tampak menghela napas, kemudian ia pun masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar. Lagi-lagi Mas Arga marah, entah sejak kapan lelaki itu bersikap seperti itu, yang jelas aku merasa akhir-akhir ini aku mulai kehilangan sosok Mas Arga yang dulu lembut dan perhatian.
Dalam pergelutan batin dan pikiran, aku terus menyibukkan diri hingga terdengar adzan subuh. Setelah merapikan pekerjaanku, aku masuk ke kamar dan mengambil wudhu. Jujur ingin rasanya aku membangunkan Mas Arga, memintanya untuk mengimami ku seperti dulu yang biasa dilakukannya. Namun melihat Mas Arga bersikap dingin tadi, akupun hanya bisa mengurungkan niat dan sholat sendiri.
“Mas, bangun lalu solat subuh ya. Aku mau membangunkan anak-anak dulu.”
Hening, Mas Arga hanya diam. Padahal tadi saat aku masuk ke kamar dia masih sibuk dengan ponselnya, tapi sekarang dia hanya diam seakan tak mendengar ku.
Dengan perasaan kecewa aku meninggalkan kamar, akupun beranjak menengok keadaan Raffa dan Audrey yang masih tertidur lelap. Kedua buah hatiku tampak pulas, bahkan kumandang adzan yang begitu keras tak dapat membangunkan mereka.
"Abang Raffa, Audrey, ayo bangun. Sudah subuh, adzan sudah berkumandang.”
Raffa menggeliat, seperti biasa anak sulungku paling gampang di bangunkan. Sementara Audrey masih terlelap, bahkan saat aku menarik selimutnya, dia kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Audrey, ayo bangun. Lihat tuh Abang sudah bangun, ayo bangun. Kamu hari ini masuk sekolah pagi loh, emangnya kamu mau kesiangan?” tanyaku sambil menggoyangkan tubuh mungil anakku yang masih Paud.
“Abang dulu aja Mah, aku ngantuk.” Rengek Audrey semakin mempererat pegangannya di selimut, seakan dia takut aku menarik selimutnya lagi.
“Ya sudah, kalau Abang sudah selesai nanti langsung bangun lalu solat subuh bareng Abang ya.”
“Mmmm...” jawab Audrey malas, akupun segera meninggalkan kamar anak-anak dan menyiapkan seragam yang akan mereka pakai. Setelah itu ku letakkan di masing-masing tempat tidur, agar anak-anak tidak kesulitan mencarinya.
***
“Abang Raffa, Adek. Sudah siap belum?” tanyaku yang baru menaiki setengah tangga. Putra sulungku turun sambil berlari kecil, ia tersenyum jahil ke arahku sambil menenteng tas Audrey. Lagi-lagi Raffa mengerjai adiknya, aku hanya menggelengkan kepala ketika kudapati Audrey yang sedang menangis turun dari tangga.
“Mamah.... Tas Adek di umpetin sama Abang” Audrey mengadu kepadaku sambil merengek. Aku hanya tersenyum mendengar rajukan manjanya. Segera kugendong tubuhnya untuk menenangkan, sambil perlahan menuruni tangga dengan hati-hati dan berjalan menuju meja makan.
“Duduk yang manis ya, sayang. Mamah bangunkan Papah dulu.”