Akhir-akhir ini aku semakin menjadi pendiam, aku yang kini mulai sedikit mengacuhkan Mas Arga jika kami hanya berdua saja. Aku menjelma menjadi diriku yang dulu, pendiam dan selalu berusaha untuk tetap tersenyum dan menyembunyikan luka yang begitu dalam. Mungkin di mata orang-orang hubungan kami baik-baik saja, jika kami pergi keluar bersama, aku tetap bersikap seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa, tapi saat di rumah semua topeng itu ku lepas. Aku kembali ke stelan awal, hanya diam seperti raga yang tak memiliki jiwa.
Hari-hariku kini berubah drastis, tak ada yang berubah jika di hadapan anak-anak, di saat mereka tidak ada, sikap diamku seketika muncul tanpa peringatan. Walaupun begitu aku tetap menyiapkan setelan jas kerja Mas Arga, membuatkan sarapan favoritnya yang akhir-akhir ini sepertinya dia paksakan menyantapnya, bahkan sekarang dia selalu meminta bekalnya seperti dulu, yang tentu saja aku buatkan sekalipun aku tak sepenuhnya sudi membuatnya.
***
Siang ini aku kembali ke perusahaan tempat Mas Arga bekerja, bukan untuk menemuinya, namun aku menemui Abang iparku yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus bos Mas Arga. Beberapa hari lalu aku tak sengaja menabraknya, waktu itu aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, karna aku begitu hancur saat itu. Sesampainya di depan ruang Abang iparku, Mas Rangga. Ku kerutkan keningku ketika mendapati Mas Arga, Diana dan satu lagi perempuan cantik Riska yang merupakan sekretaris Mas Rangga yang langsung menatapku dengan tatapan memelas, mungkin dia merasa tidak nyaman berada di situasi yang dia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ku alihkan pandanganku tepat ke arah Diana, perempuan yang berhasil membuatku selalu menangis setiap malam. Bahkan saat ini sisa-sisa air mataku masih tampak, sembab yang tak pernah hilang dari lingkar mataku, dan hidung ceriku yang tak kunjung memudar terus memerah setiap kali air mataku terjatuh.
"Duduk..." Mas Rangga memintaku duduk dengan nada suara yang lembut, sementara memerintahkan Mas Arga dengan suara tegas dan dingin. Aku melangkah perlahan, menatap ke sekeliling yang terasa menegangkan. Sepertinya Mas Rangga dan Riska sudah mengetahui semuanya. Aku bergerak ragu menghampiri mereka dan mengambil posisi berhadapan langsung dengan Mas Rangga yang seolah siap mengintrogasi ku.
"Diana harus memilih antara pindah ke cabang di Kalimantan, atau berhenti dari perusahaan." Mas Rangga langsung to the poin, yang sontak saja membuat Mas Arga tampak terkejut.
"Tapi Mas, itu di luar pulau dan mengapa Mas Rangga mengambil keputusan sepihak seperti ini tanpa memberitahuku terlebih dahulu?"
Pertanyaan spontan Mas Arga sukses membuatku seakan ingin tertawa terbahak-bahak. Aku menatap lelaki yang yang sudah menghabiskan waktu bersama selama hampir 8 tahun, dia dengan terang-terangan membela selingkuhannya seakan tak melihatku. Aku mengulum senyum, dan juju aku tak percaya sekaligus kecewa sehingga seketika perasaanku terhadap lelaki itu benar-benar sudah hancur.
"Aku juga salah satu pimpinan disini, Mas. Seharusnya Mas Rangga bicarakan dulu, kita buat keputusan bersama, jangan mengambil keputusan hanya sepihak saja.”
"Kau! Dengan keputusan sialanmu itu? Tidak! Setelah kau mempermalukan keluarga dengan tingkah konyol mu, kau pikir masih punya kemampuan untuk memberikan keputusan?"