“Satukan kembali pecahan-pecahan gelas itu seperti keadaan semula, Mas. Jika Mas Arga membuatnya utuh seperti sedia kala, bukan hanya kesempatan kedua yang kuberikan. Bahkan beribu kesempatan atas segala kesalahan yang sama pun akan kuberikan."
Mas Arga terdiam menatapku, sementara aku dengan tenang mengucapkan hal yang mustahil untuk dilakukan. Dari sikap dan kata-kata Mas Arga tadi sepertinya perbuatannya itu sepele, tapi pernahkah dia memikirkan perasaanku? Dia benar-benar tidak masuk akal, tapi aku mengerti, itulah pemikiran sesungguhnya seorang peselingkuh. Yang dia tahu hanyalah perasaanya, bukan perasaan orang yang dia sakiti.
Jujur saja aku bukanlah sosok perempuan temperamental, dan keras kepala yang akan langsung menampar ataupun menghujami Mas Arga dengan caci maki dan pukulan seperti perempuan lain yang mendapati suaminya berselingkuh. Aku hanya akan menggunakan cara yang efektif untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti saat ini, aku mampu membuat Mas Arga membisu tak berkutik. Karena memang mustahil bukan? Bagaimana caranya mengembalikan gelas itu kembali seperti keadaan utuh.
"Seperti hati dan kepercayaanku kepadamu, Mas. Kau menghancurkannya seperti halnya gelas ini. Maafmu tidak akan bisa mengembalikannya seperti sedia kala. Seiring berjalannya waktu mungkin aku akan memaafkan mu, tapi luka itu akan tetap membekas. Gelas itu memang masih bisa disatukan, namun retakan-retakannya tidak bisa dihilangkan. Dan retakan-retakan itulah yang akan selalu menghiasi hati yang sudah ku berikan kepadamu seutuhnya."
Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Sakit, bahkan tanpa sadar rasa sakit ini sudah menjalar keseluruh tubuhku hingga air mata pun tak sudi lagi terbendung di pelupuk mata. Mas Arga mendekatiku dan meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Aku tetap diam tak menolak, tak kusangka Mas Arga ikut meneteskan air mata. Namun air mata itu tak mampu meluruhkan kedalaman rasa sakit dan luka yang sudah ia torehkan. Dalam dekapan Mas Arga dadaku terasa sesak, sesakit ini lukaku ya Tuhan. Bahkan kepalaku terasa kunang-kunang saat air mataku terus saja mengalir deras seakan energi dalam jiwaku ikut tersedot dalam aliran air mata yang terus saja tak mau berhenti.
Perlahan tapi pasti kesadaranku seketika memudar, aku tak tahu apa yang terjadi, namun mata ini benar-benar sulit ku buka, hingga akhirnya sepenuhnya kegelapan melingkupiku.
***
Samar-samar terdengar sebuah teriakan, "Apa maksudmu?" Suara lantang Mas Arga terdengar seperti sedang panik, “Sebagai seorang Dokter, kau bahkan tidak mengetahui kondisi pasienmu!”
"Maaf tuan, ini bukan soal penyakit. Istri anda pingsan karena dia terlalu stres. Aku akan merekomendasikan Dokter Psikolog. Biarkan dia memeriksa istri anda, dan untuk sementara saya sarankan anda jaga istri anda agar tidak terlalu stres." Dokter masih tenang menghadapi Mas Arga, perlahan ku buka mata dan menatap mereka berdua.
Ya, mana mungkin aku tidak stres bukan? Nyaris setiap malam aku selalu menangis, terus memikirkan di mana letak kesalahanku hingga Mas Arga tega melakukan penghianatan itu. Dua tahun, itu bukan hal yang singkat. Selama dua tahun ini rupanya aku sudah berbagi tubuh suamiku, dengan perempuan lain. Suami yang begitu aku hargai dan hormati, suami yang dengan tulus ku serahkan jiwa dan ragaku hanya untuknya, namun di mata Mas Arga aku hanyalah setitik air yang tak terlihat dalam gelas.
Seberapa keras dan berusahanya Mas Arga meminta maaf, dengan berbagai cara demi menunjukkan penyesalannya, tetap saja itu masih belum mampu untuk meluluhkan hatiku yang sudah hancur.
Masih dalam perdebatan Dokter dan Mas Arga, tiba-tiba ponsel Mas Arga yang dia taruh di atas meja samping ranjang berdering. Aku yang berada lebih dekat dengan ponsel itu langsung menyahutnya. Keningku berkerut, sungguh tak masuk akal. Rupanya Diana yang menelpon, perempuan itu benar-benar bersemangat, bahkan dalam kondisi panas seperti ini dia dengan tidak sabaran ingin bertemu dengan Mas Arga.