“Mamah, maafin Adek ya. Adek janji nggak akan nakal lagi, gak cengeng kalau Abang nakalin adek. Mamah jangan sakit ya, kalau mamah sakit adek sedih.” Ocehan Audrey mengejutkanku yang entah sejak kapan aku tertidur. Mas Arga juga ada di sampingku, yang terbangun sama sepertiku. Sekilas ku lirik Mas Arga, ia tersenyum mendengar ocehan Audrey yang manja.
“Kalau Audrey mau mamah cepat sembuh, sekarang adek biarkan mamah tidur lagi ya. Kasian mamah, biarkan mamah istirahat.”
Mas Arga menoleh ke Raffa yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, seakan anak sulungku itu enggan masuk. Ku tatap Raffa untuk memberi sebuah isyarat, agar membawa adiknya kembali ke kamarnya karena malam masih panjang.
“Ayo dek, biarin Mamah istirahat ya. Kita kembali ke kamar yuk, nanti Abang bacain buku cerita.” Raffa menggendong Audrey keluar, setelah Audrey mendaratkan kecupan di kedua pipiku. Begitupun dengan Raffa, anak sulungku tak mau kalah dengan adiknya.
Mas Arga perlahan duduk dan mendekatiku, seulas senyum ia paksakan, ia pun menatapku dengan penuh penyesalan. Mas Arga mengusap pipiku, namun aku menghindar dan hanya menatapnya datar.
“Masih pusing?” tanya Mas Arga, mulai membuka suara. Aku menggeleng pelan. Namun tiba-tiba Mas Arga menarik tubuhku dan memelukku erat. Lelaki itu menghirup dalam-dalam rambutku yang terurai, entah sudah berapa lama Mas Arga tak pernah melakukan itu lagi, dan entah ada setan apa yang merasukinya hingga ia melakukannya secara tiba-tiba.
“Aku sangat merindukan mu, Sayang. Aku rindu memelukmu, rindu wangi mu yang menenangkan.”
Diam, aku hanya diam tak bergeming. Aku bahkan tak ada hasrat untuk memeluknya balik, yang ada tanganku terasa kaku hingga ingin ku hempasan pelukan itu kuat-kuat, karena aku merasa itu sungguh memuakkan.
“Sayang...”
“Pergilah Mas, aku tahu Diana sudah menunggumu sejak tadi. Jangan buang-buang waktumu di sini. Tanpa harus aku katakan, kau pasti sudah tau aku bahkan sudah tak ingin lagi bernafas di satu ruangan denganmu. Aku sudah pasrah, sudah bisa merelakan mu. Jadi silahkan, kapanpun kamu mau berpisah, aku pasti akan menyanggupinya.”
“Apa?”
Mas Arga melepaskan pelukannya, ia menatapku dengan tatapan marah, kecewa, dan ada rasa sakit di dalamnya. Perlahan aku menghela napas, dan melepaskan tangan Mas Arga yang mencengkram kedua lenganku.
“Sayang, tidak seperti itu. Diana memang menelpoku tadi, dan dia hanya berpamitan karena dia memutuskan untuk mutasi. Dia juga meminta bantuanku untuk mengantarkannya ke bandara, tapi aku sudah menolaknya. Aku sudah memutuskan hubungan kami, dan aku juga akan berusaha menjauhinya dan tak lagi berhubungan. Aku berjanji, aku akan membuktikan betapa aku menyesal dan tak ingin membuat semuanya semakin bertambah buruk, Sayang.”
“Terserah kamu, Mas. Itu urusanmu sama dia. Benar atau tidaknya hanya kalian yang tau. Aku mau ke kamar Raffa.”
“Aku antar.” Mas Arga memapahku, sejujurnya aku ingin menolak, namun tubuhku masih terasa lemah. Perlahan kami menaiki tangga selangkah demi selangkah, hingga kami sampai di depan pintu kamar putra ku.